Washington DC, iKoneksi.com – Pemerintah Amerika Serikat (AS) menanggapi keras kebijakan balasan China yang memberlakukan tarif 34% terhadap barang-barang asal AS. Menurut Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, keputusan China untuk melanjutkan perang dagang dengan langkah seperti ini dianggap sebagai sebuah kesalahan besar dan eskalasi yang tidak perlu. Dalam wawancaranya dengan acara Squawk Box pada Selasa (8/4/2025),
Bessent mengungkapkan AS berada dalam posisi yang lebih kuat dibandingkan China dalam pertempuran perdagangan ini.
“Apa yang kita rugikan jika China menaikkan tarif terhadap kita? Ekspor kita ke mereka hanya seperlima dari apa yang mereka ekspor ke kita, jadi itu adalah posisi yang merugikan bagi mereka,” kata Bessent dengan tegas.
Pernyataan ini menggarisbawahi keyakinan AS kebijakan tarif China justru akan memperburuk kondisi ekonomi mereka sendiri, bukannya memberi keuntungan. Bessent juga menambahkan bahwa langkah cepat yang diambil oleh Pemerintah China untuk membalas kebijakan tarif AS adalah keputusan yang salah. Ia berpendapat bahwa seharusnya China memilih jalur diplomasi dan negosiasi untuk mencari solusi, bukannya memperburuk keadaan dengan peningkatan tarif yang lebih tinggi.
“Di sisi lain, Jepang disebut-sebut sudah berada di garis depan dalam membuka dialog untuk negosiasi, dan Gedung Putih mengharapkan negara-negara lain yang memiliki defisit perdagangan besar dengan AS untuk mengikuti jejak tersebut,” terangnya.
Pemerintah AS kini optimis, Bessent menjelaskan, banyak negara besar yang memiliki defisit perdagangan dengan AS akan segera mengajukan proposal mereka.
“Jika mereka datang dengan proposal yang solid, saya pikir kita bisa mendapatkan kesepakatan yang bagus,” ucap Bessent.
Tercatat sekitar 70 negara telah menghubungi Gedung Putih untuk memulai pembicaraan, menunjukkan adanya dorongan global untuk mencari penyelesaian yang lebih diplomatis dalam perdagangan internasional. Namun, kebijakan China yang memberlakukan tarif 34% terhadap produk-produk AS menambah ketegangan dalam hubungan kedua negara.
Tidak tinggal diam, Presiden Donald Trump mengancam untuk memberlakukan tarif tambahan sebesar 50% terhadap impor China jika tarif tersebut tidak dicabut. Peningkatan tarif yang saling balas ini menciptakan ketidakpastian besar di pasar global, termasuk pasar saham yang tertekan oleh eskalasi ketegangan dagang.
“Perang dagang yang terus memanas ini telah menyebabkan defisit perdagangan AS dengan China semakin membengkak. Pada tahun 2024, AS tercatat mengalami defisit hampir 300 miliar dolar AS dengan China, yang merupakan sepertiga dari total ketidakseimbangan perdagangan AS secara keseluruhan. Pemerintah Trump berharap bahwa dengan mengenakan tarif yang tinggi terhadap produk China, AS bisa membuka lebih banyak pasar bagi produk-produk domestik mereka dan sekaligus mengembalikan operasi manufaktur yang sempat hilang ke tanah air,” tekan Bessent.
Namun, ia mengungkapkan pemerintahan Trump tidak hanya fokus pada tarif yang diterapkan negara lain, melainkan juga pada hambatan-hambatan non-tarif seperti manipulasi mata uang, pajak pertambahan nilai (VAT) di Eropa, dan metode lain yang dianggap oleh Gedung Putih merusak prinsip perdagangan yang adil. Hal ini mencerminkan pendekatan yang lebih luas dari AS dalam mengatasi ketidakseimbangan perdagangan, yang tidak hanya terbatas pada tarif impor, tetapi juga pada berbagai bentuk praktik perdagangan yang dianggap merugikan. Kebijakan perdagangan yang agresif ini, meskipun mendapatkan dukungan dari sebagian kalangan di AS, juga menimbulkan kekhawatiran tentang dampaknya terhadap stabilitas ekonomi global. Jika ketegangan ini terus berlanjut tanpa ada penyelesaian yang jelas, dunia mungkin akan menghadapi dampak yang lebih luas dari perang dagang ini, yang akan memengaruhi tidak hanya ekonomi AS dan China, tetapi juga negara-negara lain yang terhubung dalam rantai pasokan global. Bessent pun menegaskan jalan terbaik untuk mengakhiri konflik perdagangan ini adalah melalui negosiasi dan bukan eskalasi lebih lanjut. Ia berharap China bisa mempertimbangkan kembali kebijakan tarifnya dan memilih untuk berunding demi kebaikan kedua belah pihak, serta demi kepentingan ekonomi dunia yang lebih stabil.
“Sebagai langkah lanjutan, Gedung Putih mengharapkan beberapa negara lainnya akan segera tampil dengan proposal yang dapat membuka jalan bagi tercapainya kesepakatan perdagangan yang lebih adil dan menguntungkan semua pihak,” tutupnya. (04/iKoneksi.com)