Kota Medan, iKoneksi.com – Karier Topan Obaja Putra Ginting adalah kisah dramatis yang nyaris seperti dongeng modern: dari ajudan pribadi Wali Kota Medan, melesat cepat menembus langit kekuasaan, lalu berakhir di jeruji besi. Kejatuhannya menjadi pelajaran pahit bagi birokrasi dan pengingat bahwa kekuasaan tanpa kontrol dapat menjerumuskan siapa pun, sekuat apa pun posisinya.
Topan: Sosok di Balik Layar Pemerintahan Kota Medan
Lahir bukan dari keluarga elite birokrasi, Topan memulai kariernya sebagai ajudan pribadi Wali Kota Medan saat itu, Bobby Nasution. Namun bukan hanya sekadar ajudan biasa. Ia perlahan menjadi figur kunci dalam lingkaran kekuasaan Medan.
Loyalitas dan kedekatannya dengan Bobby membuatnya mendapat kepercayaan lebih dari sekadar staf administratif. Ia menjadi sosok kepercayaan, pengatur kebijakan, bahkan penyambung kebijakan strategis. Dalam waktu singkat, jabatan-jabatan prestisius disodorkan kepadanya: Camat, Kepala Bagian Umum, Kabag Aset, Kepala LPSE, Kadis Pendidikan, hingga Kepala Dinas PUPR.
PNS lain menyebutnya “Ketua Kelas,” bukan karena usianya muda, tapi karena tak satu pun keputusan besar di lingkungan Pemko Medan yang tak melalui dirinya.
Dari Kota Medan ke Sumut, Karier yang Terus Meroket
Ketika Bobby naik kelas menjadi Gubernur Sumatera Utara, Topan tidak tertinggal. Ia justru semakin mendapat posisi penting. Ia ditunjuk sebagai Kepala Dinas PUPR Sumut, bahkan sempat merangkap sebagai Plt Kadisperindag ESDM. Dalam setiap agenda kerja Bobby, Topan selalu hadir, seolah menjadi “bayangan kekuasaan”.
Selain itu, ia meraih gelar doktor dan terpilih sebagai Ketua Kwarda Pramuka Sumut, menambah legitimasi sosialnya. Sosok Topan pun kian dielu-elukan figur birokrat muda, berpendidikan, dan dipercaya penuh oleh gubernur.
Namun di balik itu, muncul tanda tanya besar: bagaimana bisa sosok yang bukan pejabat publik terpilih, tanpa latar belakang teknis konstruksi atau arsitektur, memegang kendali pada proyek-proyek infrastruktur strategis seperti revitalisasi Lapangan Merdeka, Islamic Center, hingga pengadaan lampu kota dan mobil listrik?
Desas-desus dan Gaya Hidup Mewah
Tak pelak, gaya hidup Topan mulai mengundang sorotan. Rumah mewah yang sempat viral di media sosial disebut-sebut miliknya, meski dibantah. Dugaan pengaruhnya yang besar atas mutasi ASN hingga penunjukan jabatan di Pemko dan Pemprov memperkuat citra bahwa ia adalah “pengendali tak resmi” pemerintahan.
Bahkan, isu yang menyebut bahwa penunjukan pejabat kerap melewati prosedur formal seperti Baperjakat (Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan) seolah dibenarkan diam-diam oleh banyak pihak.
Jumat Keramat: Akhir dari Segalanya
Tanggal 27 Juni 2025, menjadi titik balik. KPK secara mengejutkan menangkap Topan dalam operasi tangkap tangan (OTT) terkait dugaan korupsi proyek jalan senilai Rp231,8 miliar. Dalam hitungan jam, sosok yang sebelumnya dielu-elukan itu mengenakan rompi oranye—simbol kehancuran bagi pejabat publik yang tersandung kasus korupsi.
KPK mengungkap, Topan dan beberapa pihak lain menerima suap senilai Rp2 miliar dari total komitmen Rp46 miliar. Ia pun langsung diterbangkan ke Jakarta dan menjalani pemeriksaan intensif.
Simbol Jatuhnya Kekuasaan Bayangan
Penangkapan Topan bukan hanya mengguncang Pemprov Sumut, tapi juga membuka mata publik tentang bagaimana kekuasaan informal bisa tumbuh tanpa pengawasan. Politisi lokal bahkan menyebutnya sebagai “bayi tabung”—lahir dari proses politik yang tidak normal, tapi diberi kekuasaan luar biasa.
Kini, Topan menjadi simbol kejatuhan kekuasaan di balik layar. Kariernya yang gemilang runtuh seketika, tapi bagi masyarakat Sumut, ini baru permulaan.
Harapan Baru untuk Sumatera Utara
OTT terhadap Topan menjadi momentum penting. Banyak pihak mendesak agar seluruh proyek besar di Sumut diaudit ulang, termasuk mengevaluasi siapa saja yang pernah bekerja sama dengannya. Tak sedikit pula yang meminta KPK untuk menelusuri lebih dalam: apakah Topan bergerak sendiri, atau ada nama-nama lain di balik layar yang lebih besar?
Yang pasti, kejatuhan Topan Ginting adalah peringatan keras. Bagi birokrasi, bahwa loyalitas membabi buta bisa membinasakan. Dan bagi publik, bahwa harapan akan penegakan hukum yang adil masih mungkin untuk diperjuangkan. (04/iKoneksi.com)