Diduga Melanggar Hukum, BSP Sumut II PT Grahadura Leidong Prima Didesak Hentikan Kegiatan di Kawasan Hutan

Kabupaten Labuhanbatu Utara, iKoneksi.com – Kasus dugaan pelanggaran hukum yang melibatkan BSP Sumut II PT Grahadura Leidong Prima (GLP) kembali menjadi sorotan. Aktivis lingkungan hidup, Tagor Tampubolon, menanggapi pernyataan Humas BSP Sumut II yang menyebut bahwa perusahaan tersebut telah mengantongi semua izin yang dibutuhkan untuk mengelola areal perkebunannya. Namun, Tagor membantah klaim tersebut dan menyebut perusahaan tersebut patut diduga menguasai kawasan hutan secara ilegal.

“Sesuai keputusan Menteri Kehutanan, areal perkebunan yang dikelola oleh BSP Sumut II PT Grahadura Leidong Prima termasuk dalam kawasan hutan dan tidak memiliki perizinan di bidang kehutanan,” ungkap Tagor, Kamis (19/12/2024).

Legalitas yang Dipertanyakan

Dalam pernyataannya, Tagor dengan tegas menyebut klaim legalitas yang diutarakan BSP Sumut II tidak sejalan dengan fakta di lapangan.

“BSP Sumut II mengatakan mereka memiliki legal standing yang jelas, tetapi kenyataan di lapangan menunjukkan hal yang berbeda,” ujarnya.

Ia membeberkan adanya patok-patok dan penanda yang jelas bahwa kawasan yang dikelola BSP Sumut II adalah kawasan hutan. Namun, aktivitas alat berat yang diduga milik perusahaan tetap berlangsung di area tersebut.

“Jika mereka benar-benar memiliki izin yang sah, maka seharusnya tidak ada lagi penanda kawasan hutan di sana,” tegasnya.

Menurut Tagor, aktivitas yang dilakukan oleh BSP Sumut II tidak hanya mencederai aturan hukum, tetapi juga merusak lingkungan. “Ini bukan hanya masalah izin, tetapi bagaimana mereka mengelola kawasan hutan tanpa menghormati hukum yang berlaku,” tambahnya.

Desakan untuk Penegakan Hukum

Tagor berharap agar aparat penegak hukum, khususnya Polda Sumut dan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumut, segera melakukan tindakan tegas terhadap dugaan pelanggaran ini. Ia merujuk pada laporan masyarakat yang telah disampaikan melalui Forum Diskusi dan Aksi Masyarakat (FORDAM) pada 13 Desember 2024 lalu.

“Dumas (pengaduan masyarakat) itu harus menjadi dasar bagi aparat hukum untuk segera bertindak. Jika terbukti ada pelanggaran hukum dalam pengelolaan kawasan hutan, saya berharap ada tindakan tegas,” kata Tagor.

Beberapa langkah yang diusulkan oleh Tagor antara lain menghentikan sementara aktivitas BSP Sumut II di kawasan tersebut, mencabut izin hak guna usaha (HGU), atau memberikan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

Pelanggaran terhadap Kawasan Hutan Produksi

Tagor menyoroti dugaan pelanggaran ini mencakup pengelolaan kawasan hutan produksi yang seharusnya dilindungi oleh negara. Aktivitas yang dilakukan tanpa izin tidak hanya merugikan negara secara materiil, tetapi juga berdampak serius terhadap kelestarian lingkungan dan ekosistem hutan.

“Jika kasus seperti ini terus dibiarkan, maka tidak hanya akan menciptakan preseden buruk bagi penegakan hukum, tetapi juga mempercepat kerusakan lingkungan yang dampaknya akan dirasakan oleh generasi mendatang,” imbuhnya.

Harapan pada Aparat Penegak Hukum

Tagor menegaskan bahwa kasus ini adalah ujian bagi integritas aparat penegak hukum di Sumatera Utara. Ia mendesak agar setiap langkah yang diambil sesuai dengan prinsip transparansi dan keadilan.

“Negara harus hadir. Tidak boleh ada pembiaran terhadap pelanggaran hukum, terutama yang menyangkut sumber daya alam yang menjadi hak publik. Kami menunggu tindakan nyata dari Polda Sumut dan Kejati Sumut untuk menegakkan hukum dengan tegas,” pungkasnya.

Publik kini menanti langkah apa yang akan diambil oleh pihak berwenang terhadap dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh BSP Sumut II PT Grahadura Leidong Prima. Akankah kasus ini berakhir dengan keadilan, atau justru menjadi satu lagi catatan kelam dalam sejarah penegakan hukum di Indonesia?. (04/iKoneksi.com)

Komentar