Jakarta, iKoneksi.com – Wacana hukuman mati bagi pelaku korupsi kembali menjadi perdebatan sengit di Indonesia. Indonesian Corruption Watch (ICW) dengan tegas menolak penerapan hukuman mati bagi koruptor, terutama terkait kasus dugaan penyelewengan tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina (Persero) yang saat ini tengah diselidiki.
Peneliti ICW, Wana Alamsyah, menegaskan hukuman mati bukan solusi efektif dalam memberantas korupsi. Menurutnya, pendekatan ini bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) dan tidak serta-merta menyelesaikan akar persoalan korupsi di Indonesia.
“ICW sangat tidak sependapat dengan pernyataan Jaksa Agung yang mewacanakan hukuman mati bagi pelaku korupsi. Ini bukan hanya melanggar HAM, tetapi juga tidak akan menyelesaikan masalah korupsi secara mendasar,” ujar Wana dalam keterangannya pada Selasa (11/3/2025).
Sebagai gantinya, ICW mendesak agar pemerintah dan aparat penegak hukum lebih fokus pada pemiskinan koruptor. Wana menilai penyitaan seluruh aset hasil korupsi dan pengembalian uang negara akan memberikan efek jera yang lebih nyata dibandingkan hukuman mati.
Mengapa Hukuman Mati Dinilai Tidak Efektif?
ICW menyoroti fakta beberapa negara yang telah menerapkan hukuman mati bagi koruptor, seperti China, tetap menghadapi tingkat korupsi yang tinggi. Meski eksekusi mati diberlakukan, indeks persepsi korupsi China tidak menunjukkan penurunan signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa hukuman mati bukan solusi utama dalam memberantas korupsi. Sebaliknya, negara-negara dengan pendekatan pemiskinan koruptor, penguatan sistem hukum, serta transparansi pemerintahan justru lebih berhasil dalam menekan praktik korupsi.
“Hukuman mati hanyalah tindakan reaktif. Yang lebih penting adalah memperbaiki sistem hukum, memastikan transparansi, serta memastikan bahwa koruptor tidak bisa menikmati hasil kejahatannya. Dengan cara itu, korupsi bisa benar-benar diberantas dari akarnya,” terang Wana.
Selain itu, ICW menilai wacana hukuman mati ini lebih bersifat populis dan cenderung menjadi alat politik dibandingkan solusi yang benar-benar efektif.
Jaksa Agung Akan Tetap Kejar Koruptor
Di sisi lain, Jaksa Agung ST Burhanuddin menegaskan pemerintah tetap berkomitmen dalam menindak tegas pelaku korupsi, termasuk dengan mempertimbangkan hukuman berat. Dalam beberapa kesempatan, ia mengisyaratkan bahwa bisa saja ada tersangka baru dalam kasus dugaan korupsi di Pertamina dan bahwa pemerintah tidak akan memberi ruang bagi koruptor untuk lolos dari jeratan hukum.
Namun, hingga saat ini, tidak ada keputusan resmi mengenai penerapan hukuman mati bagi koruptor di Indonesia. Perdebatan masih berlangsung di berbagai kalangan, termasuk akademisi, aktivis, dan pejabat pemerintahan.
Pemiskinan Koruptor: Solusi yang Lebih Realistis?
Di tengah perdebatan ini, pemiskinan koruptor mulai menjadi opsi yang lebih realistis dan diterima oleh banyak pihak. Langkah ini mencakup:
1. Penyitaan seluruh aset hasil korupsi
2. Pembekuan rekening dan properti yang terkait dengan tindak pidana korupsi
3. Pencabutan hak politik dan jabatan publik seumur hidup
4. Penerapan denda yang jauh lebih besar dari jumlah uang yang dikorupsi
“Pendekatan ini dinilai lebih efektif karena langsung menyerang motif utama koruptor, yaitu keuntungan finansial. Jika para koruptor kehilangan seluruh hasil kejahatannya dan tidak bisa lagi hidup mewah, maka potensi orang lain untuk melakukan korupsi juga akan menurun,” tekan Wana.
Hukuman Mati atau Pemiskinan?
Perdebatan mengenai hukuman bagi koruptor memang tidak mudah. Di satu sisi, publik menginginkan hukuman yang seberat-beratnya untuk koruptor, tetapi di sisi lain, hukum mati tidak terbukti efektif dalam menekan angka korupsi.
“ICW dengan tegas menolak hukuman mati dan lebih memilih solusi pemiskinan koruptor sebagai langkah strategis yang lebih realistis. Kini, tantangan bagi pemerintah adalah bagaimana menerapkan kebijakan yang tidak hanya memberikan efek jera, tetapi juga memperbaiki sistem secara menyeluruh agar korupsi bisa benar-benar diberantas di Indonesia,” pungkas Wana. (04/iKoneksi.com)