Kota Medan, iKoneksi.com – Dunia kedokteran Sumatera Utara digemparkan dengan dugaan penganiayaan yang dilakukan oleh seorang dokter muda yang masih menjalani pendidikan profesi (koas), berinisial FP. Insiden ini terjadi pada Kamis (19/12/2024), di sebuah gerai makanan burger dan roti bakar di Jalan Prof. HM Yamin, Medan. Kasus ini telah menyita perhatian publik, termasuk Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Sumatera Utara.
Ketua IDI Sumut, dr. Ramlan Sitompul, mengungkapkan keprihatinannya atas insiden tersebut. Ia menegaskan bahwa tindakan seperti itu tidak dapat diterima, terlebih dilakukan oleh seseorang yang berada di jalur profesi mulia seperti dokter.
“Kalau betul kejadian itu benar, kita sangat menyayangkan tindakan dokter koas tersebut,” ujar dr. Ramlan dengan nada tegas, Kamis (26/12/2024).
Etika Kedokteran yang Dipertaruhkan
Dalam profesi kedokteran, etika adalah salah satu landasan utama. Dokter tidak hanya dituntut untuk memiliki kemampuan klinis yang baik, tetapi juga menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, kesopanan, dan martabat profesi. Dr. Ramlan menegaskan bahwa seorang dokter, sejak masa pendidikan, harus belajar untuk mengendalikan emosinya.
“Jika ada mahasiswa kedokteran yang tidak bisa menjaga etika, sebaiknya dipikirkan ulang, apakah ia benar-benar pantas melanjutkan profesi ini,” sebut Ramlan.
Menurutnya, dunia kedokteran memiliki tanggung jawab besar untuk melayani masyarakat dengan sepenuh hati. Oleh karena itu, seorang dokter harus mampu mengesampingkan perasaan pribadinya demi kepentingan pasien. Insiden yang melibatkan FP ini, menurut Ramlan, seharusnya menjadi bahan evaluasi penting bagi institusi pendidikan kedokteran.
Peran Universitas dalam Evaluasi Mahasiswa
Kasus ini memunculkan desakan kepada institusi pendidikan kedokteran untuk lebih memperhatikan perkembangan karakter mahasiswa mereka. Ramlan menyarankan agar universitas tempat FP menimba ilmu segera melakukan evaluasi mendalam terhadap mahasiswa tersebut.
“Institusi pendidikan harus mengevaluasi, termasuk jika perlu, memeriksa kondisi psikologis atau kejiwaan mahasiswa tersebut,” jelasnya.
Ia menambahkan pelatihan mental dan pengendalian emosi merupakan bagian penting dalam pendidikan dokter. Seorang dokter yang emosional dan tidak mampu mengelola emosinya dapat berisiko membahayakan pasien di masa depan.
“Kalau seorang dokter tidak bisa melatih emosinya, bagaimana ia akan bekerja di ruang publik, apalagi di pelayanan kesehatan?” tanya Ramlan.
Tantangan Profesi di Tengah Publik
Kasus dugaan penganiayaan ini menyoroti tantangan besar yang dihadapi mahasiswa kedokteran dalam mengelola tekanan dan emosi di tengah lingkungan yang menuntut profesionalisme tinggi. Bagi FP, insiden ini bukan hanya mencoreng nama baik dirinya sendiri, tetapi juga berdampak pada citra profesi kedokteran di mata masyarakat. Ke depan, Ramlan berharap kasus ini menjadi pelajaran berharga, tidak hanya bagi FP, tetapi juga bagi seluruh mahasiswa kedokteran di Indonesia.
“Profesi dokter adalah profesi mulia yang menuntut pengabdian tanpa pamrih. Jangan sampai emosi sesaat merusak semua itu,” tegas Ramlan..
Pembenahan Sistem dan Moralitas
Kasus FP ini menyiratkan perlunya pembenahan tidak hanya dari sisi pendidikan formal, tetapi juga pembentukan karakter dan moralitas calon dokter. Masyarakat menanti tindak lanjut dari universitas, IDI, dan pihak terkait lainnya untuk memberikan keadilan dan memastikan hal serupa tidak terulang di masa depan.
‘Dengan sorotan tajam publik terhadap profesi dokter, peristiwa ini sekaligus menjadi pengingat bahwa etika adalah pondasi yang harus terus dijaga dan dijunjung tinggi. Dunia kedokteran membutuhkan tenaga yang tidak hanya terampil, tetapi juga memiliki jiwa besar untuk melayani, bukan melukai,” tandas Ramlan. (04/iKoneksi.com)
Komentar