Kab Malang, iKoneksi.com – Isu kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang mencuat menjelang tahun baru 2025 menyita perhatian publik Indonesia. Tarif PPN yang sebelumnya 11% akan dinaikkan menjadi 12% per 1 Januari 2025. Kenaikan ini memicu kegelisahan, terutama di kalangan masyarakat menengah ke bawah yang khawatir akan berdampak pada lonjakan harga kebutuhan pokok. Bukan hanya harga barang, namun dampaknya juga diperkirakan akan mempengaruhi pola konsumsi masyarakat.
Pemberlakuan tarif PPN baru ini menjadi sorotan tajam di berbagai platform media sosial, di mana sejumlah netizen mengungkapkan kekhawatiran mereka terkait daya beli yang semakin menipis. Menurut Dosen Ekonomi Pembangunan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Muhammad Sri Wahyudi, S.E., M.E., kebijakan ini memang memiliki tujuan yang besar, yakni untuk mendukung percepatan pembangunan infrastruktur negara dan menjaga keseimbangan fiskal negara. Meski demikian, ia menyebutkan kebijakan ini dapat menimbulkan dampak negatif yang cukup besar bagi ekonomi masyarakat, terutama bagi kelompok menengah ke bawah.
“Secara objektif, penerapan kebijakan ini dilakukan pemerintah sebagai salah satu upaya untuk mendukung percepatan pembangunan infrastruktur negara dan menjaga keseimbangan fiskal negara,” ujar Yudi.
Namun, dampak kenaikan tarif PPN ini, menurutnya, berisiko menurunkan daya beli masyarakat, khususnya mereka yang berada di kelas menengah ke bawah. Pergeseran budaya konsumsi, di mana masyarakat mulai memilih barang atau jasa yang lebih murah dan non-premium, diperkirakan akan terjadi. Penerapan PPN 12% hanya akan berlaku pada barang dan jasa kategori premium (mewah), serta beberapa jenis pelayanan golongan VIP. Namun, Yudi menegaskan bahwa sektor-sektor yang menggunakan bahan pokok premium, seperti produk makanan dan minuman olahan kemasan, juga berpotensi besar mengalami kenaikan harga.
“Meskipun kebijakan PPN 12% ini berdampak besar pada golongan menengah ke atas, tidak menutup kemungkinan masyarakat menengah ke bawah juga akan terkena imbasnya. Efek pergeseran budaya beli ke produk non-premium bisa jadi salah satu dampaknya,” kata Yudi.
Di sisi lain, Yudi memberikan apresiasi kepada pemerintah yang berani mengambil langkah berani untuk mempercepat pembangunan infrastruktur negara. Menurutnya, upaya tersebut penting untuk meningkatkan efisiensi dan mengurangi biaya logistik di seluruh wilayah Indonesia. Infrastruktur yang lebih baik diharapkan dapat mendorong hilirisasi dan memperkuat perekonomian secara keseluruhan. Meski demikian, ia menekankan pentingnya kebijakan pendamping untuk menjaga kesejahteraan sosial masyarakat, terutama bagi kelompok rentan. Yudi mengusulkan beberapa langkah untuk menyeimbangkan dampak kebijakan ini, salah satunya adalah pemberian subsidi atau insentif fiskal untuk kelompok yang terdampak, seperti golongan masyarakat berpendapatan rendah dan pelaku UMKM.
“Pemberian insentif subsidi untuk golongan rentan, seperti kenaikan upah minimum Kabupaten/Kota (UMK) dan Upah Minimum Regional (UMR), serta pemberian insentif pajak kepada pelaku usaha UMKM yang menyerap banyak tenaga kerja, dapat menjadi solusi untuk mengurangi dampak buruk kebijakan PPN 12%,” tuturnya.
Sebagai negara demokrasi, Yudi juga menekankan pentingnya intervensi pemerintah dalam melindungi sektor-sektor rentan dan pengawasan terhadap kebijakan ini. Mengingat beberapa kasus perpajakan yang pernah terjadi sebelumnya, pengawasan yang ketat sangat dibutuhkan untuk memastikan kebijakan ini berjalan sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Yudi juga menyarankan masyarakat untuk lebih bijaksana dalam mengelola pengeluaran mereka.
“Saya mengimbau masyarakat untuk tetap bijak dalam membeli barang, melakukan efisiensi dalam pembelian, dan hanya membeli barang yang benar-benar dibutuhkan. Selain itu, menggeser pola konsumsi ke produk-produk non-premium bisa menjadi salah satu alternatif untuk mengurangi beban ekonomi akibat kenaikan PPN,” jelasnya.
Ia menambahkan kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat sangat penting untuk menciptakan keseimbangan dalam penerapan kebijakan ini. Pemerintah harus memastikan bahwa kebijakan yang diambil tidak menambah beban masyarakat, sementara masyarakat juga harus beradaptasi dengan perubahan yang terjadi untuk mencapai tujuan pembangunan yang berkelanjutan.
“Dengan berbagai kebijakan yang diterapkan, tentu diharapkan bahwa Indonesia dapat mencapainya keseimbangan antara pembangunan infrastruktur dan kesejahteraan masyarakat. Peningkatan tarif PPN 12% adalah langkah yang bisa mendatangkan efek jangka panjang yang positif, namun harus diimbangi dengan kebijakan yang dapat memitigasi dampak langsungnya terhadap masyarakat,” tutup Yudi. (04/iKoneksi.com)
Komentar