Kota Malang, iKoneksi.com – Proyek food estate, yang diharapkan menjadi solusi atas krisis pangan sejak pandemi COVID-19, kini menuai kritik tajam dari Guru Besar Ilmu Hukum Lingkungan dan Sumber Daya Alam Universitas Brawijaya (UB), Prof. Dr. Rachmad Safa’at, SH, MSi.
Dalam Forum Group Discussion (FGD) bertema Rekonstruksi Politik Hukum Tata Kelola Program Food Estate Berbasis Masyarakat Tani dan Keberlanjutan Ekologi, Rachmad mengungkapkan sejumlah kelemahan mendasar dalam pelaksanaan proyek ini, mulai dari tata kelola hingga dampaknya pada lingkungan dan masyarakat. Ia menilai proyek ini terlalu sentralistis dan mengabaikan potensi lokal, sehingga justru menjauh dari tujuan utamanya.
“Fokus pemerintah hanya pada komoditas seperti beras, padahal setiap daerah memiliki kebutuhan dan potensi pangan yang berbeda,” tegasnya.
Ia juga menyoroti rusaknya lahan gambut di Kalimantan Tengah akibat pengelolaan yang tidak sesuai, yang ironisnya malah mematikan produktivitas pertanian di sekitar kawasan food estate. Kritik lain yang tak kalah pedas adalah soal keterlibatan militer dalam proyek ini.
“Food estate seharusnya berada di bawah pengelolaan Kementerian Pertanian atau Badan Pangan Nasional, bukan oleh militer,” ujarnya.
Menurutnya, pendekatan semacam ini justru menambah kerumitan dan tidak relevan dengan tujuan utama proyek. Tak hanya itu, Rachmad juga menyoroti lemahnya perlindungan lingkungan dalam pelaksanaan proyek ini, terutama akibat kebijakan yang lahir dari Undang-Undang Cipta Kerja. Ia menilai UU tersebut mempermudah eksploitasi sumber daya alam tanpa pengawasan yang memadai.
“Amdal dan izin lingkungan yang seharusnya menjadi benteng pertahanan justru dipermudah. Ini membuka peluang bagi pengusaha untuk mengabaikan aspek keberlanjutan,” ungkapnya dengan nada prihatin.
Sebagai solusi, Rachmad mendesak pemerintah untuk melibatkan masyarakat lokal, akademisi, dan pakar lingkungan dalam pengambilan keputusan. Ia menegaskan bahwa proyek besar dengan anggaran triliunan ini tidak boleh hanya menjadi proyek mercusuar tanpa manfaat nyata bagi rakyat Indonesia.
“Pada tahun kedua pelaksanaannya, pemerintah harus segera merevisi pola tata kelola proyek ini agar lebih sesuai dengan kebutuhan rakyat dan prinsip keberlanjutan,” katanya.
Rachmad juga berkomitmen untuk terus mengawal isu ini dengan menyusun jurnal akademik dan menghadiri konferensi internasional pada Juni 2025. Dalam kesempatan tersebut, ia berencana menyampaikan rekomendasi tata kelola food estate yang berbasis keberlanjutan. Guru Besar UB ini pun menyampaikan harapannya kepada Presiden Prabowo Subianto agar lebih memperhatikan masukan dari berbagai pihak, terutama hasil kajian akademik.
“Suara rakyat dan penelitian akademis harus menjadi landasan utama dalam pengambilan kebijakan. Jika ini tidak diindahkan, food estate hanya akan menjadi proyek sia-sia yang menambah beban rakyat dan merusak alam,” tukas Rachmad dengan tegas. (04/iKoneksi.com)
Komentar