Kab Tapanuli Selatan, iKoneksi.com – Sorotan tajam disampaikan pemerhati pendidikan Kabupaten Tapanuli Selatan, Rahmad Taufiq Dalimunthe, terhadap praktik pungutan uang Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) yang masih dilakukan di sejumlah Sekolah Menengah Atas (SMA) negeri di wilayah tersebut. Dalam pernyataannya kepada wartawan, Senin (13/4/2025), Taufiq dengan tegas meminta seluruh SMA negeri di Tapanuli Selatan segera menghentikan praktik tersebut karena dinilai menyalahi aturan hukum yang berlaku.
Pungutan Berkedok Sumbangan
Taufiq menyebut praktik pengutipan uang SPP yang dilakukan dengan menetapkan nominal tertentu dan jadwal pembayaran rutin setiap bulan adalah bentuk pungutan yang tidak sah. Meskipun dana tersebut kerap disebut sebagai sumbangan pembinaan pendidikan, dalam praktiknya uang tersebut dipatok secara tetap dan diwajibkan kepada seluruh siswa.
“Dengan adanya penetapan angka nominal yang wajib dan rutin dibayarkan, dana tersebut jelas merupakan pungutan. Ini tidak bisa ditoleransi,” kata Taufiq.
Ia menegaskan dalam sistem pendidikan nasional, sekolah negeri tidak diperbolehkan membebani siswa dengan biaya tambahan yang bersifat wajib.
“Bahkan, peraturan secara eksplisit melarangnya,” lugas Taufik.
Permendikbud 75 Tahun 2016 Sebagai Acuan
Penegasan Taufiq merujuk pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah.
“Dalam pasal 12 huruf B disebutkan dengan jelas bahwa komite sekolah, baik secara perseorangan maupun kolektif, dilarang melakukan pungutan dari peserta didik atau orang tua/wali,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia menyebutkan dalam pasal 10 ayat (2) peraturan yang sama, memang disebutkan bahwa komite sekolah diperbolehkan melakukan penggalangan dana. Namun, dana tersebut harus berupa bantuan atau sumbangan, bukan pungutan. Perbedaannya sangat jelas: bantuan dan sumbangan bersifat sukarela, tidak ditetapkan nominalnya, tidak rutin, dan tidak mengikat.
“Sudah sangat gamblang bahwa penggalangan dana hanya boleh dalam bentuk gotong royong sukarela, bukan pemaksaan berkedok sumbangan,” seru Taufiq.
Solusi Alternatif yang Rasional
Menyadari sejumlah sekolah mungkin mengalami kekurangan dana operasional, Taufiq tidak sekadar mengkritik, tetapi juga menyampaikan alternatif solusi yang bisa dilakukan pihak sekolah bersama komite dan orang tua siswa. Ia menyarankan agar sekolah aktif menggandeng pihak ketiga seperti perusahaan swasta melalui dana Corporate Social Responsibility (CSR), maupun lembaga non-profit yang memiliki kepedulian terhadap dunia pendidikan.
“Saya tidak menutup mata bahwa ada kebutuhan pendanaan tambahan, tapi bukan berarti sekolah boleh menabrak aturan. Banyak cara legal yang bisa ditempuh, asalkan kreatif dan transparan,” tuturnya.
Potensi Pelanggaran Hukum dan Korupsi
Taufiq juga memberikan peringatan keras. Menurutnya, praktik pungutan yang melanggar aturan bukan sekadar pelanggaran administratif, tetapi dapat masuk ke ranah tindak pidana korupsi. Apalagi bila dana yang dikumpulkan tidak jelas pertanggungjawabannya.
“Kalau pungutan dilakukan tanpa dasar hukum yang sah, itu sama saja dengan pungli. Dan pungli, jika terorganisir dan dilakukan oleh institusi pendidikan, bisa masuk ke wilayah pidana. Ini harus dihentikan,” tegasnya.
Desakan Pengembalian Dana Siswa
Sebagai bentuk tanggung jawab dan perbaikan kepercayaan publik, Taufiq mendesak agar sekolah-sekolah yang telah memungut dana tersebut segera mengembalikannya kepada orang tua siswa. Ia menolak alasan bahwa pungutan itu dilakukan atas dasar kesepakatan dengan komite sekolah, karena menurutnya kesepakatan semacam itu tidak bisa membenarkan pelanggaran hukum.
“Dana BOS sudah tersedia dan cukup besar. Seharusnya dana itu dimanfaatkan secara optimal. Tidak ada alasan untuk membebani siswa lagi,” tekan Taufiq.
Pendidikan Bukan Ladang Bisnis
Menurutnya kasus ini membuka mata kita persoalan klasik pungutan liar dalam dunia pendidikan masih terus terjadi meskipun regulasi sudah sangat jelas. Saatnya pemerintah daerah, khususnya Dinas Pendidikan, turun tangan secara serius. Jika dibiarkan, bukan hanya kepercayaan publik terhadap sekolah negeri yang akan runtuh, tetapi juga masa depan siswa yang akan terus dibayangi oleh ketimpangan.
“Pertanyaannya kini: apakah sekolah-sekolah di Tapanuli Selatan siap berbenah, atau justru akan terus mempertahankan kebiasaan lama yang mencederai keadilan dalam dunia pendidikan?,” pungkas Taufik. (04/iKoneksi.com)