Miris, Jelang Pilkada Aceh Majunya Perempuan Jadi Pemimpin Diharamkan, Syariat atau Politik Praktis?

Berita188 Dilihat

Kota Banda Aceh, iKoneksi.com – Polemik seputar perempuan sebagai pemimpin kembali menjadi sorotan menjelang Pilkada Aceh 2024. Pernyataan kontroversial dari beberapa tokoh yang menyebut bahwa perempuan ‘haram’ menjadi pemimpin menuai pro dan kontra di tengah masyarakat. Isu ini tidak hanya menggugah diskusi mengenai syariat Islam yang diterapkan di Aceh, tetapi juga mengundang pertanyaan apakah narasi tersebut murni berbasis agama atau bagian dari strategi politik praktis.

Narasi Keagamaan di Panggung Politik

Pegiat perempuan dari Kata Hati Institute, Raihal Fajri, yang fokus pada isu demokrasi dan kebijakan, menjelaskan pandangan masyarakat Aceh terhadap isu ini sangat beragam. Sebagian masyarakat tidak terpengaruh oleh narasi tersebut, sementara yang lain mendukung pandangan bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin.

“Kelompok yang setuju perempuan “haram” menjadi pemimpin sering mengacu pada pandangan ulama terkemuka Aceh, Abu Mudi, yang juga merupakan tokoh penting dalam Partai Adil Sejahtera. Sebaliknya, mereka yang mencoba melawan narasi ini dengan menyatakan bahwa perempuan boleh menjadi pemimpin kerap dicap sebagai pihak yang menentang syariat Islam,” kata Raihal.

“Kalau ada yang melakukan counter, maka langsung dicap kafir, menolak syariat Islam, dan sebagainya. Hal ini sangat memberatkan,” ujar Raihal.

Perempuan Aceh dan Rekam Jejak Politik

Para pegiat perempuan dan pakar gender menilai situasi ini sebagai kemunduran, karena Pilkada di Aceh masih menjadi arena yang sulit dijangkau oleh perempuan. Dari 162 calon kepala daerah dan wakil kepala daerah di Aceh, hanya empat di antaranya perempuan: Illiza Saaduddin Djamal (calon Wali Kota Banda Aceh), Afridawati (calon Bupati Simeulue), Nurhayati (calon Wakil Bupati Simeulue), dan Meutia Apriani (calon Wakil Wali Kota Langsa).

Situasi ini bertolak belakang dengan masa kejayaan Aceh pada abad ke-15 hingga ke-17, ketika wilayah ini dipimpin oleh ratu dan sultanah perempuan, yang didukung oleh ulama besar pada masanya. Pemerhati sejarah, Iskandar Norman, menekankan bahwa Aceh dahulu memiliki tradisi kepemimpinan perempuan yang kuat. Sejarah Aceh mencatat tokoh-tokoh perempuan yang berperan besar dalam kepemimpinan, seperti Sultanah Shafiatuddin dan Cut Nyak Dien. Namun, dalam realitas politik modern, perempuan Aceh masih menghadapi tantangan besar.

Respons Masyarakat

Isu ini mendapat tanggapan beragam dari masyarakat. Sebagian besar menilai bahwa kepemimpinan seharusnya diukur dari kompetensi, bukan gender.

“Yang penting adalah visi, misi, dan komitmen mereka terhadap kesejahteraan rakyat Aceh. Perempuan atau laki-laki, itu tidak relevan jika memang mampu,” ujar Sulaiman, seorang warga Banda Aceh.

Namun, ada pula yang mendukung pandangan bahwa perempuan sebaiknya tidak menjadi pemimpin. “Dalam syariat Islam, ada aturan yang jelas. Kita harus mengacu pada itu,” kata warga lainnya, Saiful.

Politik Identitas di Tengah Pilkada

Fenomena serupa juga pernah terjadi selama Pilkada 2017. Namun, di tengah perdebatan ini, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh memilih untuk tidak memberikan komentar, mengingat isu ini bersinggungan dengan agenda politik Pilkada. Ketua MPU Aceh, Teungku Faisal Ali, menyatakan, Untuk saat ini, tidak tepat MPU berkomentar karena bersinggungan dengan agenda politik.

Pandangan ini kini berubah. Dalam sebuah video yang diunggah pada 2016, Abu Mudi menjelaskan bahwa perempuan yang mencalonkan diri sebagai pemimpin dianggap berdosa.

“Orang yang memilih (perempuan,red) pun ikut bersalah, berdosa. Dilantik, orang yang melantik juga berdosa. Setelah dilantik dia sah menjadi pemimpin, di situ juga menjadi masalah,” ucap Abu.

Narasi ini terus berkembang, menciptakan tantangan bagi perempuan yang ingin berpartisipasi dalam kontestasi politik di Aceh. (04/iKoneksi.com)

Komentar