Jakarta, iKoneksi.com – Mahkamah Konstitusi (MK) resmi mengabulkan sebagian permohonan pengujian materi Pasal 3 ayat (1) huruf c dan Pasal 20 ayat (2) dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat). Dalam putusan yang dibacakan pada Jumat (3/1/2025), MK menyatakan bahwa dosen Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) maupun Perguruan Tinggi Swasta (PTS) diperbolehkan menjadi advokat secara terbatas sebagai bagian dari pengabdian masyarakat, sesuai Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Ketua MK, Suhartoyo menjelaskan, keputusan ini bertujuan untuk memperkuat fungsi dosen sebagai pendidik sekaligus agen perubahan.
“Dengan pengalaman praktik sebagai advokat, dosen dapat memperkaya materi pengajaran dan penelitian, sehingga pembelajaran menjadi lebih kontekstual dan aplikatif,” ujar Suhartoyo di Ruang Sidang Pleno MK, Jumat (3/1/2025).
Peluang dan Tantangan Baru
Keputusan ini membuka peluang bagi dosen PNS untuk berkontribusi dalam sistem hukum Indonesia, terutama melalui pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma kepada masyarakat tidak mampu. Langkah ini diharapkan tidak hanya meningkatkan pemahaman hukum di kalangan dosen, tetapi juga memperluas dampak positif pendidikan tinggi bagi masyarakat luas.
“Namun, MK juga menekankan bahwa tanggung jawab utama dosen sebagai pendidik dan peneliti tetap harus menjadi prioritas. Dosen dituntut mempersiapkan materi ajar, menyusun Rencana Pembelajaran Semester (RPS), meneliti, dan menghasilkan karya ilmiah. Dengan begitu, tugas utama mereka tidak boleh terganggu,” jelas Suhartoyo.
Syarat Ketat bagi Dosen PNS
Agar tanggung jawab akademik dan profesi advokat berjalan harmonis, Suhartoyo menetapkan sejumlah persyaratan ketat untuk dosen PNS yang ingin menjadi advokat, di antaranya:
- Lulus Ujian Kompetensi Advokat yang diselenggarakan oleh organisasi advokat resmi.
- Pengabdian sebagai Dosen minimal lima tahun di perguruan tinggi tempatnya mengajar.
- Bergabung dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang dikelola oleh perguruan tinggi dan telah terakreditasi.
- Memberikan Bantuan Hukum Pro Bono untuk masyarakat tidak mampu tanpa membuka kantor hukum sendiri.
- Mendapat Persetujuan Dekan untuk setiap kasus yang ditangani, serta melaporkan hasilnya setelah selesai.
Suhartoyo juga menegaskan dosen yang menjadi advokat dilarang aktif di organisasi advokat atau membuka praktik hukum komersial.
Penguatan Tri Dharma Perguruan Tinggi
Putusan ini sejalan dengan semangat Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Dengan membuka peluang dosen PNS menjadi advokat, Mahkamah berharap ilmu hukum dapat diterapkan langsung dalam kehidupan nyata, memberikan manfaat yang lebih luas bagi masyarakat.
“Dengan keterlibatan langsung dalam praktik hukum, dosen tidak hanya memperkaya khazanah pengetahuan, tetapi juga berkontribusi nyata dalam membantu masyarakat yang membutuhkan,” ujar Suhartoyo.
Batasan dan Implikasi Hukum
Meski memberikan peluang baru, Mahkamah tetap membatasi ruang lingkup advokasi yang dapat dilakukan dosen PNS. Aktivitas ini hanya diperbolehkan dalam konteks pengabdian masyarakat, sehingga tidak mengganggu tugas akademik mereka.
“Dalam amar putusan, kami juga menegaskan Pasal 3 ayat (1) huruf c dan Pasal 20 ayat (2) UU Advokat bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat jika tidak dimaknai untuk mendukung pengabdian masyarakat oleh dosen PNS,” tekan Suhartoyo.
“Dengan syarat-syarat ketat yang ditetapkan, dosen PNS kini memiliki kesempatan untuk memperluas perannya, baik di bidang akademik maupun sosial. Meski demikian, pelaksanaan kebijakan ini membutuhkan pengawasan ketat agar tujuan awalnya, yakni penguatan Tri Dharma Perguruan Tinggi, tetap tercapai tanpa mengorbankan kualitas pendidikan,” tutup Suhartoyo. (04/iKoneksi.com)
Komentar