Kab Mojokerto, iKoneksi.com – Di tengah hiruk pikuk kehidupan modern, ada sebuah sudut di Kabupaten Mojokerto yang seolah membekukan waktu. Kampung Mojokoncot, yang mendapat julukan “kampung hilang”, menyimpan kisah unik tentang kehidupan masyarakat yang memilih bertahan di tengah keterbatasan.
Terletak di Desa Kedunggede, Kecamatan Dlanggu, kampung ini tidak mudah diakses. Jalan setapak yang sempit dan jembatan bambu yang rapuh menjadi satu-satunya penghubung ke dunia luar. Tak ada jalan raya, tak ada kendaraan melintas, hanya sunyi yang menemani.
Tak heran jika Mojokoncot kerap disebut sebagai kampung tersepi di Indonesia. Warganya perlahan meninggalkan tempat ini, membuat suasana semakin lengang dan terisolasi.
Dari Kampung Ramai Menjadi Desa Terlupakan
Dahulu, Mojokoncot memiliki nama asli Desa Tampingrejo. Kampung ini pernah ramai, penuh kehidupan. Namun, kondisi geografisnya yang sulit membuat penduduk satu per satu memilih meninggalkan rumah mereka.
Menurut Ahmad, salah satu warga yang masih bertahan, perpindahan warga terjadi sejak tahun 1971. Alasan utama adalah sulitnya akses keluar-masuk kampung. Tak ada jalan utama, tak ada jembatan yang layak, hanya sungai besar yang membelah desa dari wilayah lain.
“Ke sini nggak ada jalannya, jadi orang-orang pergi. Dulu jembatan bambu pun belum ada,” ujar Ahmad.
“Kini, hanya tersisa empat rumah di Mojokoncot. Rumah-rumah lainnya dibiarkan terbengkalai, tertutup semak belukar, beberapa bahkan sudah runtuh. Tak ada lalu lalang kendaraan, hanya suara alam yang mengisi kesunyian,” sambungnya.
Mengapa Mojokoncot Ditinggalkan?
- Akses Sulit dan Terbatas
Jembatan bambu yang menjadi satu-satunya akses ke kampung ini tidak bisa dilalui kendaraan roda empat. Warga kesulitan membawa hasil pertanian ke pasar atau mengantarkan anak-anak ke sekolah. - Minimnya Fasilitas Umum
Di Mojokoncot, listrik, air bersih, dan jaringan komunikasi sangat terbatas. Ini membuat kehidupan semakin sulit, terutama bagi generasi muda yang ingin berkembang. - Kesulitan dalam Mobilitas dan Ekonomi
Tanpa akses yang baik, ekonomi warga menjadi terhambat. Hasil pertanian sulit dipasarkan, dan layanan kesehatan maupun pendidikan pun sulit dijangkau.
“Meski demikian, beberapa keluarga memilih bertahan. Bagi mereka, Mojokoncot bukan sekadar tempat tinggal, tetapi juga tanah kelahiran yang memiliki nilai sejarah dan ikatan emosional yang kuat,” ungkap Ahmad.
Potensi dan Tantangan Mojokoncot
Meski dikenal sebagai kampung hilang, Mojokoncot memiliki potensi besar untuk dikembangkan menjadi desa wisata. Keunikan budayanya, keindahan alam, dan suasana tenang bisa menjadi daya tarik bagi wisatawan yang mencari pengalaman berbeda.
Namun, ada tantangan besar yang harus diatasi:
✔ Pembangunan Infrastruktur – Jembatan yang layak menjadi kebutuhan mendesak agar akses lebih mudah.
✔ Pemberdayaan Masyarakat – Warga butuh dukungan untuk mengembangkan ekonomi lokal tanpa meninggalkan kearifan lokal mereka.
✔ Pelestarian Lingkungan – Jika dikembangkan sebagai destinasi wisata, Mojokoncot harus tetap mempertahankan keasliannya.
Ahmad berharap pemerintah bisa membantu membangun jembatan yang lebih kokoh. Bukan jembatan besar, cukup yang bisa dilalui sepeda motor agar kampungnya tidak semakin terisolasi.
“Panjang jembatan 17 meter, ketinggian 19 meter. Sekarang jembatan sudah goyang. Kalau bisa, kami butuh besi untuk kerangkanya,” pintanya.
Mojokoncot: Pengingat Akan Keseimbangan Hidup
Kisah Mojokoncot menjadi cerminan bagaimana modernisasi membawa perubahan, tetapi juga meninggalkan jejak keterasingan. Kampung ini mengingatkan kita tentang pentingnya keseimbangan antara pembangunan dan pelestarian lingkungan serta budaya.
“Mojokoncot masih berdiri kokoh, menjadi saksi bisu perjalanan waktu. Namun, akankah kampung ini bangkit kembali atau semakin tenggelam dalam kesunyian? Hanya waktu yang bisa menjawab,” tandas Ahmad. (04/iKoneksi.com)
Komentar