Polemik RUU KUHAP, Akademisi UB: Kewenangan Ganda Jaksa, Solusi atau Ancaman?

Kota Batu, iKoneksi.com – Pengesahan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) terbaru oleh DPR RI pada tahun 2025 menimbulkan berbagai kontroversi. Potensi penyalahgunaan wewenang (abuse of power) hingga kekacauan akibat ketidakpastian hukum diprediksi muncul, terutama terkait dengan kewenangan ganda yang diberikan kepada Kejaksaan.

Dalam RUU tersebut, Kejaksaan diberikan kewenangan tidak hanya untuk menuntut, tetapi juga menyelidiki, menerima laporan masyarakat, hingga melakukan penyadapan, termasuk pada kasus pidana umum. Beberapa pasal yang mengatur hal ini, seperti Pasal 111 ayat (2), Pasal 12 ayat (11), Pasal 6, dan Pasal 30b, dinilai dapat menimbulkan persoalan baru dalam penegakan hukum.

Dr. Prija Djatmika, ahli hukum dari Universitas Brawijaya (UB), menilai aturan ini justru berpotensi mengganggu kepastian hukum.

“Bayangkan, jika dalam satu tim sepak bola ada dua penjaga gawang. Penegakan hukum bisa amburadul, bahkan membuka celah bagi penyalahgunaan wewenang,” ungkap Jatmika.

Sebagai contoh, Pasal 12 ayat (11) RUU KUHAP menyatakan bahwa masyarakat yang merasa laporan pidananya tidak diproses oleh polisi dalam waktu 14 hari dapat melaporkannya langsung ke Kejaksaan. Sementara itu, Pasal 6 mengatur bahwa penyidik tidak terbatas pada kepolisian, melainkan juga pegawai negeri yang ditunjuk menurut undang-undang tertentu. Hal ini berarti proses penyidikan dapat dilakukan di luar Polri. Kritik tajam juga diarahkan pada Pasal 30b yang memberikan kewenangan kepada jaksa untuk melakukan penyadapan, serta Pasal 111 ayat (2) yang memungkinkan jaksa mempertanyakan legalitas penangkapan atau penahanan oleh polisi.

“Kejaksaan nanti bukan hanya menuntut kasus pidana khusus, tapi juga bisa menangani kasus pidana umum dari awal. Ini berisiko menjadikan Kejaksaan sebagai lembaga superbody yang sulit diawasi,” tegasnya.

Jatmika menilai, latar belakang pengusulan RUU ini adalah merosotnya kepercayaan publik terhadap penegak hukum, seperti yang tergambar dalam tagar #PercumaLaporPolisi. Namun, ia mengingatkan solusi emosional seperti ini berpotensi membawa kemunduran dalam sistem hukum Indonesia.

“UU KUHAP yang ada saat ini sebenarnya sudah cukup baik dalam mendistribusikan kewenangan penegakan hukum,” sebutnya.

Ia juga menyoroti ketentuan tentang restorative justice dalam RUU KUHAP, yang hanya bisa dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum. Menurutnya, hal ini bertentangan dengan asas keadilan yang cepat dan murah.

“Restorative justice seharusnya dimulai di tingkat penyidikan, karena ini bertujuan untuk memulihkan hak korban, bukan sekadar membalas perbuatan pelaku,” jelas Jatmika.

Sebagai alternatif, Jatmika mengusulkan pembentukan jaksa wilayah yang ditempatkan di kantor polisi, seperti skema yang pernah diterapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu).

“Dengan bekerja satu atap, proses penanganan perkara akan lebih efektif dan meminimalisir bolak-balik pengembalian berkas,” ujarnya.

Polemik kewenangan ganda ini membuka diskusi luas mengenai arah reformasi hukum di Indonesia. Akankah RUU KUHAP menjadi solusi atau justru menciptakan tantangan baru? Semua mata kini tertuju pada DPR RI dan keputusan yang akan diambil terkait masa depan penegakan hukum di negeri ini. (04/iKoneksi.com)

Komentar