Jakarta, iKoneksi.com- Awal tahun 2025 membuka lembaran yang cukup berat bagi perekonomian Indonesia. Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali menunjukkan pelemahan signifikan, bergerak di kisaran Rp16.300 hingga Rp16.500 per dolar. Angka ini bukan hanya mencerminkan tekanan di pasar valuta asing, tetapi juga memicu kekhawatiran lebih luas di kalangan pelaku ekonomi, investor, hingga masyarakat umum. Situasi ini mengingatkan kita pada betapa rentannya perekonomian domestik terhadap dinamika global maupun kelemahan struktural dari dalam negeri sendiri.
Venus Kusumawardana, S.E., M.M., dosen Prodi D-III Perbankan dan Keuangan Fakultas Vokasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), menegaskan bahwa pelemahan rupiah bukanlah fenomena baru. Sejarah pernah mencatat bagaimana krisis 1998 mengguncang mata uang nasional dari Rp2.500 hingga menembus Rp17.000 per dolar AS. Namun, ia mengingatkan bahwa setiap gejolak memiliki karakteristik dan tantangan yang berbeda.
“Fluktuasi nilai tukar memang bagian dari dinamika ekonomi terbuka, tetapi setiap episode pelemahan harus dilihat dalam konteksnya masing-masing dan direspons dengan kebijakan yang adaptif serta terukur,” katanya.
Kali ini, pelemahan rupiah bukan hanya dipicu satu faktor tunggal, melainkan kombinasi kompleks antara tekanan global dan kondisi domestik. Di level internasional, kebijakan moneter agresif dari The Federal Reserve (The Fed) menjadi pemicu utama. Kenaikan suku bunga acuan AS membuat banyak investor global menarik dananya dari pasar negara berkembang, termasuk Indonesia, dan kembali menempatkannya pada aset dolar AS yang dianggap lebih aman dan menguntungkan. Fenomena ini menciptakan tekanan besar pada likuiditas mata uang asing di pasar domestik.
“Namun tekanan dari luar hanya satu sisi cerita. Di dalam negeri, defisit neraca perdagangan serta lonjakan inflasi menjadi faktor penghambat lain bagi stabilitas rupiah. Ketika impor lebih tinggi dari ekspor, permintaan terhadap dolar otomatis meningkat, sementara cadangan devisa negara bisa tergerus. Belum lagi inflasi yang terus menekan daya beli masyarakat dan memperkecil margin keuntungan pelaku usaha, yang pada gilirannya bisa memperlambat laju pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan,” ungkap Venus.
Menanggapi kondisi ini, Bank Indonesia telah mengambil langkah cepat. Tiga strategi utama telah dijalankan: intervensi di pasar valuta asing untuk menstabilkan kurs, penyesuaian suku bunga acuan untuk mengendalikan inflasi, dan operasi pasar terbuka untuk menjaga likuiditas. Cadangan devisa pun tetap dijaga pada kisaran aman, yakni sekitar 140 miliar dolar AS. Namun, menurut Venus, stabilisasi nilai tukar tidak bisa hanya mengandalkan instrumen moneter.
“Diperlukan sinergi lintas sektor yang melibatkan kebijakan fiskal, reformasi struktural, dan penguatan sektor riil,” tegasnya.
Beberapa strategi kunci antara lain mendorong ekspor dan sektor pariwisata untuk menambah pasokan devisa, menarik lebih banyak foreign direct investment (FDI), serta mengurangi ketergantungan terhadap impor barang konsumsi. Ia mencontohkan, kehadiran investasi asing di daerah-daerah seperti Pasuruan menunjukkan bagaimana arus modal masuk mampu menggerakkan ekonomi lokal sekaligus memperkuat rupiah melalui capital inflow. Lebih jauh, ia juga menyarankan perluasan penggunaan rupiah dalam transaksi domestik dan kawasan regional sebagai upaya strategis memperkuat kemandirian ekonomi. Edukasi masyarakat untuk mencintai dan menggunakan produk dalam negeri menjadi bagian tak terpisahkan dari upaya menjaga stabilitas nilai tukar. Sebab, pelemahan rupiah tidak semata persoalan kebijakan elit, tapi juga cerminan partisipasi dan kesadaran kolektif seluruh elemen bangsa.
“Setiap keputusan konsumsi kita berdampak. Ketika kita membeli produk lokal, kita tidak hanya mendukung UMKM, tetapi juga mengurangi tekanan pada permintaan dolar. Artinya, kita turut serta menjaga kekuatan rupiah,” ungkap Venus.
Pelemahan nilai tukar ditegaskan Venus bukanlah akhir dari segalanya, tetapi justru bisa menjadi peringatan awal untuk memperkuat fondasi ekonomi.
“Di tengah kondisi global yang tidak menentu, inilah momentum bagi Indonesia untuk meninjau ulang arah kebijakan ekonomi secara lebih menyeluruh dan menempatkan keberlanjutan serta kemandirian sebagai pijakan utama,” tutup Venus. (04/iKoneksi.com)