Kab Malang, iKoneksi.com – Program Studi Magister Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) berkolaborasi dengan MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) Sosiologi Kabupaten Malang dalam sebuah diskusi intensif mengenai pemberdayaan masyarakat. Kegiatan yang berlangsung pada Sabtu, (15/2/2025) di SMA Negeri 1 Bululawang ini dihadiri oleh 35 guru sosiologi dari berbagai sekolah di Kabupaten Malang.
Diskusi ini bertujuan untuk menyelaraskan metode pembelajaran sosiologi di tingkat SMA dengan materi yang diajarkan di perguruan tinggi, serta memperkuat pemahaman guru mengenai konsep pemberdayaan masyarakat yang sering kali memiliki tafsir yang beragam. Fenomena sosial yang terus berkembang di era desentralisasi politik menuntut pemahaman yang lebih mendalam, sehingga perlu adanya sinkronisasi antara teori dan praktik di lapangan.
MGMP Malang: Dinamis dan Siap Berinovasi
UMM memilih bekerja sama dengan MGMP Sosiologi Kabupaten Malang karena organisasi ini dikenal sebagai komunitas guru yang solid, dinamis, dan aktif dalam meningkatkan kualitas pembelajaran.
Menurut Eni Retno Diwati, M.Pd, selaku Pembina MGMP Sosiologi Kabupaten Malang, para guru harus memiliki semangat untuk terus belajar dan berkembang. Ia menegaskan bahwa kehadiran guru dalam setiap kegiatan MGMP sangat penting, bukan hanya untuk peningkatan kualitas mengajar, tetapi juga untuk memperkuat eksistensi MGMP sebagai wadah kolaborasi akademik.
“Kami rutin mengadakan pertemuan setiap bulan, tetapi diskusi dengan pihak luar, terutama dengan kampus, sangat penting untuk memperkaya wawasan kami. Oleh karena itu, saya menegaskan bahwa seluruh anggota MGMP harus aktif hadir dalam kegiatan seperti ini agar dapat berkembang bersama,” ujarnya.
Pemberdayaan Masyarakat: Sinkronisasi Konsep di SMA dan Perguruan Tinggi
Ketua Program Studi Magister Sosiologi UMM, Rachmad K. Dwi Susilo, menyoroti pentingnya sinkronisasi kurikulum antara SMA dan perguruan tinggi dalam mata pelajaran sosiologi. Ia menyebutkan bahwa banyak konsep yang diajarkan di SMA masih bersifat tekstual dan kurang dikaitkan dengan fenomena sosial yang terjadi di masyarakat.
“Kami ingin menghadirkan pendekatan yang lebih kontekstual. Tidak hanya teori dari buku, tetapi bagaimana konsep pemberdayaan ini dapat dipahami dalam konteks kehidupan nyata, baik oleh guru maupun siswa,” jelasnya.
Salah satu peserta, Ari Yuliana, menyatakan bahwa kegiatan ini membantu memecahkan kebuntuan dalam memahami konsep pemberdayaan yang selama ini hanya diajarkan berdasarkan buku teks.
“Terkadang kami hanya mengajarkan dari buku tahun ke tahun dan merasa sudah cukup. Tapi setelah mengikuti diskusi ini, saya menyadari bahwa konsep pemberdayaan bisa lebih luas dan aplikatif,” ujarnya.
Untuk memastikan materi yang diberikan sesuai dengan kebutuhan guru, Rachmad menyebutkan, sebelum sesi diskusi dimulai, 35 peserta diberikan survei sederhana mengenai tujuan pembelajaran pemberdayaan bagi siswa, materi pemberdayaan yang ingin dikaji lebih dalam, serta profil siswa yang diharapkan memahami konsep ini.
Hasil survei menunjukkan:
- 51,4% guru menginginkan siswa memahami analisis konsep pemberdayaan, aktor yang terlibat, dan implementasinya.
- 68,6% guru ingin memperdalam strategi pemberdayaan masyarakat.
- 54,3% guru berharap siswa yang belajar konsep ini dapat menjadi aktivis dalam komunitas sosial.
“Berdasarkan hasil ini, diskusi difokuskan pada tiga aspek utama agar lebih relevan dengan kebutuhan guru dan siswa di sekolah,” sebut Rachmad.
Diskusi Interaktif: Saling Berbagi Ilmu dan Pengalaman
Kegiatan ini berlangsung dinamis dengan diskusi yang interaktif antara pemateri dan para guru. Rachmad K. Dwi Susilo, yang memiliki keahlian dalam literasi pemberdayaan masyarakat, menyajikan teori-teori dan pendekatan akademik, sementara para guru berbagi pengalaman praktik di lapangan berdasarkan interaksi mereka dengan siswa.
“Keragaman perspektif ini justru memperkaya pemahaman kami semua. Para guru memiliki data dan pengalaman nyata dari lapangan, sementara kami di akademisi memiliki teori dan hasil riset yang bisa dijadikan referensi,” kata Rachmad.
Seiring dengan diskusi yang semakin berkembang, muncul gagasan untuk menghadirkan metode pembelajaran yang lebih inovatif. Salah satu pengurus MGMP, Upita Armida, mengungkapkan bahwa guru-guru sangat antusias dengan rencana program kerja UMM-MGMP yang akan melibatkan kegiatan outdoor learning.
“Diskusi ini membuka wawasan kami. Tidak hanya tentang teori pemberdayaan, tetapi juga bagaimana kami bisa mengembangkan metode pembelajaran yang lebih menarik bagi siswa. Apalagi ada rencana untuk melakukan outdoor learning, yang pastinya akan memberikan suasana baru bagi kami para guru,” ungkap Upita.
Kolaborasi UMM dan MGMP: Meningkatkan Kualitas Pendidikan Sosiologi
Kegiatan ini disebutkan Rachmad menjadi bukti bahwa kolaborasi antara universitas dan komunitas guru dapat menghasilkan terobosan baru dalam dunia pendidikan. Sinkronisasi antara materi akademik dan praktik di sekolah akan semakin memperkaya pengalaman belajar bagi siswa, sehingga mereka tidak hanya memahami teori, tetapi juga dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata.
“Dengan adanya diskusi rutin dan rencana pengembangan metode pembelajaran baru, diharapkan MGMP Sosiologi Kabupaten Malang dan Program Magister Sosiologi UMM dapat terus bersinergi dalam meningkatkan kualitas pendidikan sosiologi di tingkat SMA,” pungkas Rachmad. (04/iKoneksi.com)