Jakarta, iKoneksi.com – Isu mahalnya Uang Kuliah Tunggal (UKT) di perguruan tinggi Indonesia selalu menjadi perhatian publik, terutama saat awal tahun ajaran baru. Pada tahun sebelumnya, rencana pemerintah untuk menaikkan UKT sempat memicu gelombang kritik karena dianggap semakin membebani mahasiswa. Meski akhirnya dibatalkan, isu ini terus menjadi sorotan, termasuk oleh Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Riset (Wamenristek Dikti), Stella Christie.
Menurut Stella, tingginya UKT yang dibebankan kepada mahasiswa tidak lepas dari ketergantungan universitas, baik negeri maupun swasta, terhadap pendapatan dari biaya pendidikan. Dalam konfirmasi yang diterima iKoneksi.com Selasa (31/2/2024), Stella mengungkapkan sebagian besar universitas di Indonesia masih menjadikan UKT sebagai sumber pendanaan utama.
Ketergantungan pada UKT: Masalah Struktural di Perguruan Tinggi
“Salah satu fakta yang tidak bisa kita pungkiri adalah universitas di Indonesia, baik PTN maupun PTS, masih banyak bergantung pada uang kuliah,” ujar Stella.
Berbeda dengan kampus di negara maju, universitas di Indonesia belum memiliki alternatif pendanaan yang kuat. Di negara maju, universitas mendapatkan sumber pendanaan yang lebih beragam, salah satunya melalui investasi riset dan teknologi. Hal ini memungkinkan biaya pendidikan mahasiswa lebih terjangkau tanpa mengurangi kualitas pembelajaran.
“Ekosistem riset yang baik menjadi kunci keberhasilan negara-negara maju dalam mengembangkan sains dan teknologi, yang kemudian berkontribusi langsung pada pertumbuhan ekonomi mereka,” sebur Stela.
Pelajaran dari Negara Maju: Riset sebagai Pilar Ekonomi
“Selama satu abad terakhir, hampir seluruh negara maju bisa menjadi negara maju karena pertumbuhan sains dan teknologi. Ini bukti nyata dari ekosistem yang baik di berbagai negara,” ucap Stella.
Ia meyakini, Indonesia memiliki potensi besar untuk meniru langkah tersebut, terutama karena kekayaan sumber daya manusia yang kompeten. Namun, tantangan terbesar terletak pada belum optimalnya ekosistem riset di Indonesia. Stella menjelaskan masalah bukan pada kurangnya kemampuan peneliti atau dosen di Indonesia, tetapi pada minimnya dukungan dan fasilitas yang mendorong kegiatan riset.
Riset Kompetitif: Kunci Ekosistem Pendidikan yang Berkelanjutan
Guna menciptakan sains dan teknologi yang berkualitas, Stella menegaskan bahwa riset harus dilakukan secara kompetitif dan berkelanjutan.
“Urgensinya saat ini adalah mengembalikan fungsi riset sebagai pusat kegiatan di universitas-universitas,” kata Stella.
Ia menambahkan, riset tidak hanya menjadi tugas dosen, tetapi juga melibatkan banyak pihak, termasuk mahasiswa dan peneliti profesional.
“Dengan melibatkan lebih banyak orang, hasil riset dapat memberikan dampak jangka pendek maupun jangka panjang, baik bagi perguruan tinggi maupun ekonomi nasional,” ungkap Stela.
Membangun Ekosistem Pendanaan Alternatif
Selain riset, Stella juga menyoroti perlunya perguruan tinggi untuk mengembangkan sumber pendanaan alternatif. Menurutnya, universitas harus mulai menjajaki peluang pendanaan dari kerja sama dengan industri, hibah riset, dan inovasi teknologi. Hal ini tidak hanya akan mengurangi ketergantungan pada UKT, tetapi juga mendorong pengembangan teknologi yang relevan dengan kebutuhan masyarakat.
“Jika kita ingin mengurangi beban UKT mahasiswa, universitas perlu membangun sistem ekonomi yang lebih mandiri, salah satunya dengan mengoptimalkan hasil riset untuk menjadi sumber pendapatan,” lugasnya.
Harapan Masa Depan: Pendidikan Terjangkau dan Berkualitas
Di akhir wawancara, Stella menyampaikan harapannya agar pemerintah, universitas, dan sektor swasta dapat bersinergi dalam membangun ekosistem riset yang lebih baik di Indonesia. Ia percaya pendidikan yang terjangkau dan berkualitas dapat terwujud jika pendanaan perguruan tinggi tidak lagi bergantung sepenuhnya pada UKT.
“Dengan ekosistem yang tepat, kita bisa mencetak generasi unggul yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga mampu memberikan kontribusi nyata bagi perkembangan sains, teknologi, dan perekonomian negara,” tekan Stella.
“Mahalnya UKT bukanlah isu yang berdiri sendiri, tetapi cerminan dari tantangan struktural dalam sistem pendidikan tinggi Indonesia. Langkah untuk memperbaiki ekosistem riset dan diversifikasi pendanaan menjadi solusi yang tidak hanya akan meringankan beban mahasiswa, tetapi juga memperkuat peran universitas sebagai pusat inovasi dan pengembangan ilmu pengetahuan,” tutup Stella. (04/iKoneksi.com)
Komentar