Kab Mandailing Natal, iKoneksi.com – Seiring berkembangnya teknologi, banyak tradisi lama mulai tergeser oleh inovasi modern, termasuk dalam hal penanda waktu berbuka puasa di bulan suci Ramadan. Namun, di Desa Pastap, Kecamatan Tambangan, Kabupaten Mandailing Natal, sebuah tradisi unik masih bertahan—pemukulan tong-tong sebagai tanda waktu berbuka puasa.
Meskipun di berbagai daerah di Indonesia kini lebih banyak menggunakan alarm, sirene, atau pengumuman melalui mikrofon masjid untuk menandai masuknya waktu Magrib, masyarakat Pastap tetap mempertahankan tradisi pemukulan tong-tong sebagai simbol kearifan lokal yang diwariskan turun-temurun.
Tong-Tong, Dari Tanda Duka Hingga Waktu Berbuka
Muhammad Yuni Nasution, seorang warga sekaligus imam di Masjid Pastap, mengungkapkan tong-tong dahulu memiliki fungsi yang lebih luas dibandingkan saat ini. Selain digunakan sebagai penanda waktu berbuka puasa di bulan Ramadan, tong-tong juga dipukul sebagai tanda adanya kemalangan—seperti berita duka ketika ada warga yang meninggal dunia.
“Dulu, ketika ada orang meninggal, masyarakat akan memukul tong-tong untuk memberitahu warga. Demikian pula ketika masuk waktu salat, pemukulan tong-tong menjadi tanda bagi warga untuk segera menuju masjid. Namun, sekarang pengumuman duka disampaikan melalui mikrofon masjid, dan waktu salat langsung ditandai dengan kumandang azan,” ujar Yuni.
Seiring waktu, penggunaan tong-tong sebagai alat komunikasi mulai tergantikan oleh pengeras suara dan teknologi modern.
“Namun, masyarakat Pastap tetap mempertahankan satu fungsi utama tong-tong, yakni sebagai tanda berbuka puasa di bulan Ramadan,” katanya.
Menjaga Tradisi di Tengah Perubahan Zaman
Berbeda dengan hari-hari biasa, di mana tong-tong hanya tergantung di masjid tanpa digunakan, suasana Ramadan di Pastap terasa lebih hidup dan bernostalgia berkat suara pukulan tong-tong yang menggema saat waktu berbuka tiba. Tradisi ini menjadi bagian dari identitas budaya masyarakat setempat, sekaligus menghadirkan suasana khas Ramadan yang semakin berkesan.
“Rasanya ada kepuasan tersendiri ketika mendengar suara tong-tong saat berbuka. Ini bukan hanya sekadar kebiasaan, tetapi juga bagian dari sejarah dan budaya kami di Pastap,” jelas Yuni.
Bagi generasi muda, pemukulan tong-tong saat berbuka menjadi pengalaman unik yang mungkin tidak mereka jumpai di daerah lain.
“Banyak anak-anak yang ikut bersemangat menunggu momen memukul tong-tong, menjadikannya sebagai bagian dari euforia Ramadan yang penuh kebersamaan,” terang Yuni.
Antara Tradisi dan Modernisasi
Fenomena penggunaan teknologi modern dalam kehidupan sehari-hari memang tak bisa dihindari. Namun, di beberapa tempat seperti Pastap, tradisi tetap dijaga tanpa mengabaikan perkembangan zaman. Azan tetap dikumandangkan untuk menandai masuknya waktu salat, pengumuman duka disampaikan melalui mikrofon masjid, tetapi pemukulan tong-tong saat berbuka puasa tetap lestari sebagai simbol Ramadan.
“Banyak daerah lain di Indonesia yang dulunya juga memiliki tradisi serupa, tetapi kini perlahan mulai menghilang. Hal ini menjadi tantangan bagi masyarakat lokal untuk menjaga tradisi di tengah arus modernisasi. Bagi warga Pastap, suara tong-tong bukan hanya sekadar bunyi tabuhan kayu—tetapi gema dari warisan leluhur yang terus hidup di setiap Ramadan,” tutup Yuni. (04/iKoneksi.com)