Kab Malang, iKoneksi.com – Kasus korupsi yang merugikan negara hingga lebih dari Rp300 triliun kembali mencuri perhatian publik. Namun, alih-alih mendapatkan hukuman berat, pelaku hanya dijatuhi vonis 6 tahun penjara dan denda sebesar Rp1 miliar. Vonis ini memantik kritik tajam dari berbagai pihak, termasuk akademisi dan masyarakat yang mempertanyakan keberpihakan hukum di Indonesia terhadap keadilan.
Tinuk Dwi Cahyani, S.H., M.Hum., Ph.D., dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), mengungkapkan kekecewaannya atas vonis yang dianggap tidak mencerminkan rasa keadilan tersebut. Dalam pandangannya, hukuman ringan seperti itu tidak sebanding dengan dampak besar yang ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi tersebut.
“Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya Pasal 2 ayat 1 dan 2, sudah diatur jelas bahwa hukuman untuk korupsi dalam jumlah besar bisa berupa pidana seumur hidup bahkan hukuman mati. Namun, penerapan hukumnya belum sempurna. Dalam kasus ini, vonis 6 tahun jelas tidak cukup untuk memberikan efek jera,” ujar Tinuk dengan tegas.
Vonis yang Memukul Rasa Keadilan
Tinuk menyoroti rendahnya tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU), yakni 12 tahun penjara, menjadi awal lemahnya proses hukum kasus ini. Keputusan hakim yang akhirnya hanya menjatuhkan hukuman 6 tahun dinilai sebagai pukulan bagi rasa keadilan. Ia menilai, dengan kerugian negara yang sangat besar, pelaku seharusnya mendapatkan hukuman yang jauh lebih berat, termasuk kemungkinan hukuman seumur hidup atau bahkan hukuman mati.
“Vonis ini tidak hanya merugikan negara, tetapi juga melukai kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum kita. Kasus ini seharusnya menjadi evaluasi besar bagi seluruh aparat penegak hukum agar berani memberikan hukuman yang setimpal,” terang Tinuk.
Minimnya Keberanian Hakim dalam Kasus Korupsi
Tinuk juga membandingkan hukuman dalam kasus lain seperti terorisme dan narkotika, di mana hukuman mati sering kali dijatuhkan oleh para hakim. Namun, dalam kasus korupsi, ia belum menemukan keberanian serupa. Menurutnya, hal ini dipengaruhi oleh status sosial para pelaku korupsi yang kerap berasal dari kalangan pejabat atau orang berkuasa.
“Saya rasa ini masalah keberanian. Banyak pelaku korupsi adalah pejabat berpengaruh yang memiliki kekuasaan besar. Hal ini bisa saja memengaruhi keputusan aparat hukum. Padahal, kejahatan korupsi berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat luas,” tuturnya.
Peran Lembaga dan Masyarakat
Tinuk menekankan pentingnya peran Komisi Yudisial dalam mengawasi keputusan hakim. Ia juga mengingatkan bahwa lembaga eksekutif dan legislatif memiliki tanggung jawab besar untuk mengawal kasus-kasus yang merugikan negara. Namun, ia menegaskan masyarakat pun memiliki peran penting dalam mengontrol keadilan di negara ini.
“Pemberantasan korupsi bukan hanya tanggung jawab penegak hukum, tetapi juga masyarakat. Semua pihak harus peduli, karena dampak korupsi dirasakan oleh kita semua. Keberanian aparat hukum dan kontrol masyarakat adalah kunci untuk mewujudkan keadilan,” katanya.
Harapan untuk Hukum yang Lebih Berani
Di akhir pernyataannya, Tinuk berharap para penegak hukum Indonesia dapat menunjukkan keberanian lebih besar dalam menegakkan keadilan tanpa tunduk pada kepentingan pribadi atau kelompok. Ia juga mengimbau masyarakat untuk tetap kritis dan aktif mengawasi penanganan kasus-kasus besar seperti ini.
“Hukum harus berpihak pada negara dan rakyat. Kita semua memiliki hak untuk menuntut keadilan dan kesejahteraan, terutama dari tindak pidana yang merugikan negara sebesar ini. Jangan sampai korupsi terus menjadi penyakit yang menggerogoti bangsa kita,” lugas Tinuk.
Dengan vonis yang jauh dari harapan, kasus ini menjadi ujian besar bagi integritas hukum di Indonesia. Kini, publik menunggu, apakah suara kritis akan membawa perubahan atau hanya menjadi gema yang hilang ditelan waktu. (04/iKoneksi.com)
Komentar