Jakarta, iKoneksi.com – Wacana libur sekolah selama bulan Ramadan kembali mencuat. Usulan ini disampaikan oleh Mendikdasmen Prof. Abdul Mu’ti dan Wamenag Romo HR Muhammad Syafi’I. Namun, kebijakan tersebut masih menjadi perbincangan awal dan belum dibahas secara mendalam di Kementerian Agama maupun antar kementerian terkait.
Anggota Komisi X DPR RI, Ledia Hanifa Amaliah, menilai gagasan ini perlu dikaji lebih lanjut untuk menimbang sisi positif dan negatifnya. Menurut Ledia, libur panjang selama Ramadan bukan sekadar persoalan memberi jeda waktu, tetapi juga perlu mempertimbangkan dampaknya terhadap target pembelajaran dan efektivitas kegiatan belajar mengajar.
“Jika kita benar-benar ingin libur selama satu bulan, perlu dipikirkan penugasan-penugasan bagi siswa. Apa saja tugas yang diberikan? Bagaimana penerapannya? Ini adalah bagian yang harus dicermati secara serius,” ujar Ledia kepada iKoneksi.com, Senin (6/1/2024).
Efektivitas Belajar Mengajar Selama Ramadan
Ledia menambahkan jika sekolah tidak diliburkan, proses belajar mengajar selama Ramadan sebenarnya hanya efektif berlangsung selama dua pekan. Pekan ketiga biasanya sudah diisi dengan kegiatan menjelang Idulfitri, seperti pesantren kilat atau acara-acara keagamaan lainnya. Ia mengungkapkan pengalamannya saat masih bersekolah, di mana pekan ketiga Ramadan digunakan untuk pesantren kilat atau kegiatan pembelajaran yang lebih ringan.
“Dulu bahkan ada Ujian Nasional yang berlangsung saat Ramadan. Jadi sebenarnya, Ramadan bisa dimanfaatkan untuk kegiatan pembelajaran akademis sekaligus ibadah, tinggal bagaimana proporsi dan pengelolaannya,” jelas politisi Fraksi PKS itu.
Namun, Ledia menggarisbawahi jika sekolah diliburkan selama Ramadan, siswa tidak akan benar-benar sepenuhnya bebas dari kegiatan sekolah.
“Biasanya, sekolah tetap mengadakan kegiatan tertentu meskipun sifatnya lebih fleksibel,” sebut Ledia.
Kreativitas Sekolah dan Peran Pemerintah
Menurut Ledia, kunci utama dalam menentukan kebijakan ini adalah kreativitas sekolah dalam merancang kegiatan yang sesuai dengan kebutuhan siswa selama Ramadan. Pemerintah hanya perlu menetapkan bingkai besar kebijakan, sementara pelaksanaannya bisa disesuaikan oleh masing-masing sekolah.
“Pemerintah perlu membuat kerangka besar tentang apa yang harus dilakukan selama Ramadan. Apakah fokus pada pembelajaran akademis, ibadah, atau kombinasi keduanya? Targetnya harus jelas, dan itu menjadi acuan untuk semua sekolah,” lugasnya.
Ia juga menekankan pentingnya keseimbangan antara pembelajaran akademis dan kegiatan ibadah selama Ramadan.
“Jika ada target pembelajaran yang belum tercapai, bisa dimanfaatkan pekan pertama Ramadan untuk menyelesaikannya. Setelah itu, bisa fokus pada kegiatan keagamaan,” ungkap Ledia.
Ajak Semua Pihak Berkontribusi
Ledia mengajak semua pihak, termasuk pemerintah, sekolah, dan masyarakat, untuk bersama-sama mencari solusi terbaik terkait wacana ini.
“Kita perlu metode yang cocok dan pas untuk setiap sekolah. Tidak semua sekolah memiliki kebutuhan yang sama, sehingga fleksibilitas dalam pelaksanaan kebijakan menjadi kunci,” terangnya.
Meski demikian, ia mengingatkan agar keputusan terkait wacana libur Ramadan tidak diambil secara terburu-buru. Kajian yang mendalam dan komprehensif diperlukan untuk memastikan kebijakan ini memberikan dampak positif, baik bagi siswa maupun proses pendidikan secara keseluruhan.
“Dengan Ramadan yang semakin dekat, wacana ini menjadi sorotan utama. Akankah sekolah benar-benar diliburkan selama satu bulan penuh, atau justru hanya ada penyesuaian kegiatan? Semua mata kini tertuju pada pemerintah untuk memberikan kejelasan kebijakan tersebut,” pungkas Ledia. (04/iKoneksi.com)
Komentar