banner 728x250

Dosen Unair Diduga Ditekan Usai Kritik Gelar Guru Besar Kajati Jatim

  • Bagikan
banner 468x60

Kota Surabaya, iKoneksi.com – Dunia akademik kembali diguncang polemik setelah seorang dosen Universitas Airlangga (Unair) diduga mengalami tekanan setelah mempertanyakan pengukuhan Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur (Kajati Jatim), Mia Amiati, sebagai Guru Besar Kehormatan (Honoris Causa) di bidang Ilmu Pengembangan Sumber Daya Manusia.

Kasus ini mengundang perhatian Koordinator Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Satria Unggul, yang mengonfirmasi bahwa dosen tersebut akan menjalani sidang etik dalam waktu dekat.

“Saya baru cross-check ke Pak Herlambang selaku Dewan Pengarah KIKA dan juga beberapa dosen yang akan menghadiri sidang guru besar. Informasi tersebut valid,” kata Satria kepada iKoneksi.com pada Sabtu (15/3/2025).

Dosen yang terlibat dalam kontroversi ini diketahui mengajar di program pascasarjana Unair. Penolakannya terhadap pengukuhan Mia Amiati sebagai Guru Besar Kehormatan bukan tanpa alasan. Sebelumnya, Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Unair juga telah menyuarakan keberatan terhadap penganugerahan gelar tersebut.

“Namun, meskipun ada protes dari internal fakultas, pengusulan tetap berlanjut ke pascasarjana hingga akhirnya dikukuhkan oleh Rektor Universitas Airlangga, Mohammad Nasih, pada 28 Desember 2024,” jelas Satria.

Reaksi Kampus dan Dugaan Represi

Tak hanya soal sidang etik terhadap dosen yang menolak pengukuhan Mia Amiati, KIKA juga mencium dugaan represi lain di lingkungan akademik Unair. Salah satunya adalah kabar bahwa Pusat Kajian Hukum dan HAM (PUSHAM) atau Human Right Law Studies (HRLS) Fakultas Hukum Unair dibubarkan oleh dekan, kemudian dibentuk kembali dengan nama baru. KIKA menilai langkah ini bertentangan dengan kebebasan akademik dan memperlihatkan adanya ketimpangan relasi kuasa di lingkungan kampus.

“Tindakan ini tidak hanya mencederai integritas akademik, tetapi juga menunjukkan adanya tekanan terhadap pihak-pihak yang berani bersikap kritis,” ujar Satria.

Namun, Dekan Fakultas Hukum Unair, Iman Prihandono, membantah kabar pembubaran PUSHAM.

“Saya tidak pernah membubarkan pusat studi HAM,” tegasnya dalam pesan singkat saat dikonfirmasi terpisah.

Iman juga menjelaskan gelar Guru Besar Kehormatan untuk Mia Amiati berasal dari Sekolah Pascasarjana Unair, bukan dari Fakultas Hukum.

“Seingat saya, pengusulan gelar Guru Besar Kehormatan Ibu Kajati tidak dilakukan melalui Fakultas Hukum atau Departemen Pidana. Jadi, agak aneh kalau ada penolakan, karena memang tidak pernah ada pengusulan di tingkat fakultas,” katanya.

Sementara itu, Riza Alfianto, dosen hukum pidana Fakultas Hukum Unair, juga membantah adanya pembubaran pusat studi HAM. Menurutnya, yang terjadi hanyalah perubahan nama dan restrukturisasi organisasi.

“Semua pusat studi di Fakultas Hukum saat ini sedang menata ulang organisasi untuk dibuatkan SK baru,” ujar Riza.

Meski begitu, ia mengaku tidak mengetahui detail perubahan tersebut, karena dirinya tidak tergabung dalam pusat studi yang bersangkutan.

Pengukuhan Guru Besar Mia Amiati dan Kontroversinya

Pengukuhan Mia Amiati sebagai Guru Besar Kehormatan Universitas Airlangga dilakukan dalam sidang terbuka di Aula Garuda Mukti, Kampus Unair, Surabaya, pada 28 Desember 2024. Dalam orasi ilmiahnya, Mia menyoroti pentingnya pengembangan ekosistem dinamis dalam implementasi manajemen talenta di lingkungan kejaksaan. Menurutnya, manajemen sumber daya manusia di kejaksaan harus mampu beradaptasi dengan perubahan agar dapat menciptakan sistem kerja yang lebih inovatif dan berkelanjutan.

Namun, kontroversi muncul setelah banyak pihak mempertanyakan kelayakan pengukuhan tersebut. Sejumlah akademisi mempertanyakan prosedur dan kriteria yang digunakan, terutama karena latar belakang Mia Amiati sebagai jaksa tidak terkait langsung dengan bidang akademik yang digelutinya.

Selain itu, pengukuhan ini juga dianggap bertentangan dengan prinsip independensi akademik, di mana universitas seharusnya menjaga jarak dari kepentingan politik dan institusi pemerintah.

Mencari Titik Terang

Kasus ini menambah daftar panjang polemik di dunia akademik, terutama terkait transparansi dan kebebasan akademik di kampus.

Banyak pihak kini mempertanyakan apakah ada tekanan dari pihak eksternal yang mempengaruhi keputusan kampus dalam memberikan gelar kehormatan kepada pejabat negara. Selain itu, apakah represi terhadap dosen yang mengkritik pengukuhan ini mencerminkan adanya upaya membungkam suara akademisi yang berani bersikap kritis?

“Di tengah ketidakpastian ini, satu hal yang jelas: dunia akademik seharusnya menjadi ruang bebas bagi kebebasan berpikir, berpendapat, dan mengkritisi kebijakan. Jika tekanan terhadap akademisi terus terjadi, maka integritas universitas sebagai benteng ilmu pengetahuan patut dipertanyakan,” pungkas Satria. (04/iKoneksi.com)

banner 325x300banner 325x300
banner 120x600
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *