google.com, pub-7927405703202979, DIRECT, f08c47fec0942fa0

Aceh vs Sumut: Ketika Peta Jadi Api Sengketa

  • Bagikan
banner 468x60

Kota Banda Aceh, iKoneksi.com – Pulau Panjang, Lipan, Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek. Keempat nama ini mungkin terdengar seperti destinasi eksotis atau sekadar gugusan pulau kecil di perairan barat Indonesia. Namun pada pertengahan 2025, nama-nama itu berubah menjadi pemantik bara konflik antarprovinsi: Aceh dan Sumatera Utara.

Sumber konflik bukanlah bentrokan fisik atau perebutan kekuasaan biasa, melainkan sepucuk surat dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang tiba-tiba memindahkan keempat pulau dari peta Aceh ke wilayah Sumatera Utara. Tanpa proses musyawarah, tanpa pertemuan antarpemerintah daerah, apalagi diskusi terbuka dengan masyarakat terdampak. Surat itu menjadi “tangan tak terlihat” yang menyulut kemarahan Aceh dan memperkeruh hubungan dua daerah yang sebelumnya relatif tenang.

Kunjungan Politik yang Dingin di Tanah Panas

Rabu, (4/6/2025), Gubernur Sumut Bobby Nasution bertolak ke Banda Aceh. Agendanya terdengar normatif: silaturrahmi dengan Gubernur Aceh, Muzakir Manaf atau yang akrab disapa Mualem. Namun atmosfer yang terjadi justru jauh dari suasana akrab. Bobby hanya disambut sebentar oleh Mualem di Pendopo Gubernur, sebelum sang tuan rumah buru-buru pamit dengan alasan harus ke Aceh Barat Daya.

Bukan tanpa makna. Ketidakhadiran Mualem dalam pertemuan lanjutan menjadi simbol penolakan halus namun tegas terhadap pendekatan Medan dan tentu saja Jakarta dalam perkara pulau-pulau yang disengketakan. Bobby pun ditinggal duduk sendiri bersama staf di ruang tamu yang mendadak dingin, meskipun tanpa tambahan AC.

Ketika Silaturrahmi Berbau Gugatan Teritorial

Dibalik senyum diplomasi dan pernyataan normatif tentang pengelolaan bersama, langkah Bobby jelas dimaknai Aceh sebagai bentuk klaim teritorial terselubung. Usulan bahwa Sumut bisa menguasai keempat pulau, tetapi dikelola bersama dengan Aceh, terdengar manis di telinga Jakarta, namun getir bagi masyarakat Singkil.

Sebagian tokoh Aceh menyebutnya seperti permintaan maaf setelah menampar wajah orang, lalu mengajak foto bersama. Pendek kata, tawaran kolaborasi terasa sebagai pelembut retorika setelah tindakan sepihak.

Pulau Bukan Sekadar Karang, Tapi Identitas dan Sejarah

Masyarakat Aceh Singkil melihat pulau-pulau itu bukan sebagai objek kosong. Ia adalah bagian dari sejarah, aktivitas ekonomi, spiritualitas, dan bahkan identitas sosial mereka. Ada peta kesepahaman antara Gubernur Aceh dan Sumut tahun 1992 yang juga pernah disahkan Kemendagri sebuah dokumen yang selama ini menjadi pegangan status wilayah. Namun kini, peta itu dianggap usang. Digantikan peta digital dan koordinat GPS yang tak menimbang nilai historis dan budaya.

Pulau-pulau itu telah menjadi ruang hidup yang tak bisa dicabut hanya dengan surat keputusan administratif. Bagi warga, pulau bukan sekadar daratan, melainkan representasi eksistensi kolektif yang melekat secara batin.

Jakarta, Medan, dan Politik Pemetaan yang Arogan

Sikap Mualem yang terkesan dingin bukan tanpa alasan. Ia, dan sebagian besar elite Aceh, merasa lelah dengan sikap Jakarta yang terlalu sering memutuskan hal-hal krusial tanpa mengajak bicara. Seakan tanah, pulau, dan batas wilayah bisa digeser seenaknya, seperti warisan keluarga asal punya akses dan kekuasaan.

Di satu sisi, pendekatan Gubernur Sumut membawa gaya politik kekinian: cepat, praktis, dan penuh retorika kolaboratif. Tapi di sisi lain, pendekatan itu mengabaikan sensitivitas Aceh yang punya sejarah panjang tentang otonomi dan harga diri daerah.

Refleksi: Siapa Pemilik Sesungguhnya?

Konflik empat pulau ini menjadi cermin. Cermin siapa yang benar-benar memiliki wilayah, siapa yang merasa bisa merebutnya, dan siapa yang datang menawarkan kompromi setelah peta diubah diam-diam. Dalam dinamika ini, rakyat hanyalah penonton. Mereka menanti entah bendera siapa yang akan dikibarkan tertinggi, atau apakah pulau-pulau itu akan tetap menjadi milik rakyat atau jadi mainan elite politik dan birokrasi pusat.

Dan Aceh? Ia mungkin tak banyak bicara, tapi sejarahnya panjang. Ini bukan sekadar konflik perbatasan. Ini tentang harga diri.

Sebab di negeri ini, satu surat bisa mengubah peta. Tapi tidak mudah mengubah perasaan orang yang merasa dirampas tanpa diajak bicara. (04/iKoneksi.com)

banner 325x300banner 325x300
banner 120x600
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *