Ekspansi Sawit Tanpa Deforestasi, Pakar UB Usulkan Terapkan Sistem Agroforestri

Kota Malang, iKoneksi.com – Rencana Presiden Prabowo Subianto untuk memperluas lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia kerap menuai kritik karena dianggap dapat mempercepat deforestasi dan degradasi lingkungan. Namun, akademisi Universitas Brawijaya (UB), Prof. Syahrul Kurniawan, S.P., M.P., Ph.D., menilai ekspansi ini tetap bisa berjalan tanpa merusak lingkungan jika menerapkan konsep agroforestri.

Menurut Syahrul, agroforestri memungkinkan kelapa sawit ditanam berdampingan dengan berbagai jenis pohon lain, seperti pohon buah atau tanaman lokal, sehingga keseimbangan ekosistem tetap terjaga.

“Sudah ada penelitian yang kemarin dijalankan di Jambi dan saat ini masih berlangsung. Penelitian ini mencoba mengembangkan agroforestri sawit, di mana di antara tanaman sawit ditanam pohon lain, baik berbasis pohon buah maupun tanaman lokal,” ujar Syahrul pada Sabtu (1/2/2025).

Sebagai profesor aktif ke-33 di Fakultas Pertanian UB, ia menjelaskan konsep agroforestri sawit sebenarnya bukanlah hal baru. Beberapa tahun terakhir, penelitian dari luar negeri juga telah mengembangkan sistem ini sebagai solusi untuk mengurangi dampak negatif ekspansi sawit.

“Dengan metode ini, ekspansi sawit yang diinginkan pemerintah tetap bisa berjalan tanpa harus menggusur hutan secara masif. Selain itu, pendekatan ini juga lebih berkelanjutan dibandingkan dengan model perkebunan monokultur yang selama ini diterapkan,” terang Syahrul.

Mitigasi Dampak Terhadap Ketersediaan Air

Salah satu isu yang sering dikaitkan dengan perkebunan sawit adalah dampaknya terhadap ketersediaan air. Banyak yang beranggapan bahwa sawit menyerap terlalu banyak air dan nutrisi dari dalam tanah, sehingga dapat merugikan tanaman lain di sekitarnya. Menanggapi hal ini, Syahrul menegaskan kekhawatiran tersebut dapat diminimalisir jika sawit dikombinasikan dengan tanaman lain dalam sistem agroforestri.

“Saat sawit ditanam bersama pohon lain yang memiliki perakaran lebih dalam, sistem akar ini akan menciptakan ruang pori di dalam tanah. Ruang pori ini memungkinkan air hujan lebih banyak meresap ke dalam tanah dibandingkan langsung mengalir ke sungai,” jelasnya.

Dengan pola ini, tanah mampu menyimpan air lebih lama, sehingga saat musim kemarau tiba, cadangan air tetap tersedia dan risiko kekeringan dapat ditekan.

“Hal ini berbeda dengan perkebunan monokultur sawit yang cenderung menguras air tanah dengan cepat dan meningkatkan risiko erosi,” sebut Syahrul.

Peran Pemerintah dalam Mendorong Agroforestri Sawit

Lebih lanjut, Syahrul menegaskan agar ekspansi sawit tidak berdampak buruk terhadap lingkungan, pemerintah harus mengambil langkah strategis, salah satunya dengan memberikan pendampingan kepada para petani.

“Jika lahan tersebut dimiliki petani, mereka perlu mendapat pelatihan dan pendampingan terkait pengelolaan pohon dan tanah. Selama ini banyak petani hanya menanam sawit secara monokultur, padahal jika menerapkan agroforestri, mereka bisa menanam berbagai jenis tanaman dalam satu lahan,” paparnya.

Keanekaragaman tanaman di lahan perkebunan tidak hanya menguntungkan dari sisi lingkungan, tetapi juga memberikan manfaat ekonomi bagi petani. Dengan sistem agroforestri, petani tidak hanya bergantung pada sawit sebagai sumber pendapatan utama. Jika sewaktu-waktu harga sawit turun atau terjadi gagal panen, mereka masih memiliki alternatif pendapatan dari tanaman lain yang ikut dibudidayakan.

“Ini bukan hanya soal ekspansi lahan, tetapi bagaimana kita mengelola sawit secara lebih berkelanjutan. Dengan agroforestri, kita bisa mendapatkan manfaat ekonomi tanpa mengorbankan kelestarian lingkungan,” ungkapnya.

Dengan menerapkan konsep agroforestri, rencana ekspansi sawit yang dicanangkan Presiden Prabowo tidak harus berujung pada perusakan hutan.

“Jika dilakukan dengan pendekatan yang tepat, perkebunan sawit dapat berkembang secara berkelanjutan tanpa mengorbankan keseimbangan ekosistem,” tukas Syahrul. (04/iKoneksi.com)

Komentar