Jakarta, iKoneksi.com – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak seluruh permohonan uji materi yang diajukan oleh Masail Ishmad Mawaqif terkait Pasal 3 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat). Dalam sidang yang digelar pada Jumat (3/1/2025), MK menegaskan bahwa norma tersebut tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 dan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat.
Wakil Ketua MK, Saldi Isra, menjelaskan dalam pertimbangan hukum bahwa norma tersebut secara khusus mengatur syarat magang bagi calon advokat. Namun, MK memberikan pengecualian bagi daerah-daerah terluar, terpencil, dan tertinggal (3T) yang tidak memiliki kantor advokat. Dalam kasus tersebut, calon advokat diperbolehkan menjalani magang di lembaga bantuan hukum (LBH) atau organisasi kemasyarakatan yang memiliki unit bantuan hukum permanen sesuai Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum.
“Frasa kantor advokat dalam Pasal 3 ayat (1) huruf g dapat dimaknai mencakup LBH atau organisasi serupa yang dikelola oleh advokat, hanya jika wilayah tersebut secara faktual tidak memiliki kantor advokat,” ujar Saldi.
Dalil Pemohon Tidak Beralasan
Dalam permohonannya, Masail Ishmad Mawaqif berpendapat Pasal 3 ayat (1) huruf g UU Advokat tidak memberikan kepastian hukum bagi calon advokat. Ia mengisahkan pengalamannya menjalani magang selama tiga tahun di bagian perekaman sidang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Magang di institusi yang melaksanakan fungsi pro justitia seperti KPK seharusnya diakui sebagai pengalaman magang yang sah sesuai ketentuan UU Advokat,” tutur Masail.
Namun, Saldi menyatakan argumen tersebut tidak relevan. Menurut Mahkamah, norma yang diatur dalam Pasal 3 ayat (1) huruf g bertujuan untuk memastikan bahwa calon advokat menjalani proses magang yang sesuai dengan standar profesi dan di bawah supervisi kantor advokat. Pelaksanaan magang di institusi pro justitia, seperti yang diajukan Pemohon, tidak dapat dijadikan alasan untuk menilai norma tersebut bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.
“Norma ini dimaksudkan untuk menjamin kompetensi dan profesionalisme calon advokat, bukan sekadar memenuhi syarat administratif,” tegas Saldi.
Saldi juga menegaskan Pasal 3 ayat (1) huruf g tidak dapat diubah maknanya menjadi memungkinkan pelaksanaan magang di institusi pro justitia, karena hal tersebut akan menyimpang dari tujuan utama UU Advokat.
Kendala Magang di Lapangan
Dalam sidang perdana perkara ini yang digelar pada 23 Oktober 2024, Masail juga mengeluhkan kebingungan calon advokat terkait waktu pelaksanaan magang. Ia menilai aturan mengenai magang masih sangat kabur karena banyaknya organisasi advokat (OA) yang memiliki peraturan berbeda.
“Sebagai contoh, Peraturan Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Magang Advokat menyerahkan pelaksanaan magang sepenuhnya kepada OA masing-masing. Hal ini menyulitkan calon advokat untuk mendapatkan kesempatan magang, terutama jika latar belakang organisasi advokat berbeda dengan kantor yang dituju,” terang Masail.
Namun, menurut Saldi, masalah tersebut tidak menunjukkan bahwa norma dalam Pasal 3 ayat (1) huruf g UU Advokat bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.
“Sebaliknya, Mahkamah menyarankan agar calon advokat memperjuangkan perbaikan mekanisme magang melalui revisi aturan di tingkat organisasi advokat,” ungkap Saldi.
“Ketidakjelasan aturan pelaksanaan magang adalah masalah administratif yang harus diselesaikan di level OA, bukan melalui pengujian konstitusional norma UU Advokat,” sambung Saldi.
MK: Tidak Bertentangan dengan Prinsip Kesetaraan
Masail juga berdalih bahwa Pasal 3 ayat (1) huruf g bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang mengatur perlindungan bagi warga negara dengan keterbatasan.
“Namun, Mahkamah menolak argumen ini,” seru Masail.
Saldi menegaskan norma dalam Pasal 3 ayat (1) huruf g tidak berkaitan dengan prinsip kesetaraan yang dimaksud dalam Pasal 28H.
“Norma tersebut justru memberikan landasan bagi calon advokat untuk menjalani pelatihan yang profesional sesuai standar yang berlaku,” lugasnya.
Putusan MK Menegaskan Kepastian Hukum
Dengan mempertimbangkan seluruh aspek tersebut, Mahkamah menyatakan bahwa norma Pasal 3 ayat (1) huruf g UU Advokat tidak bertentangan dengan jaminan kepastian hukum. Putusan ini sekaligus menutup peluang untuk melaksanakan magang advokat di institusi pro justitia seperti yang diajukan Pemohon.
“Ketentuan ini dirancang untuk melindungi kualitas dan integritas profesi advokat, sekaligus menjaga kepercayaan publik terhadap sistem hukum Indonesia,” tekan Saldi Isra.
“Keputusan ini menjadi pengingat bagi calon advokat dan organisasi advokat untuk memperbaiki mekanisme magang demi memastikan proses pengembangan profesional yang lebih transparan dan adil,” tukas Saldi. (04/iKoneksi.com)
Komentar