Kota Medan, iKoneksi.com — Program Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K) yang semestinya menjadi penyelamat pendidikan bagi mahasiswa dari keluarga kurang mampu, kini berubah menjadi jebakan berlapis kejahatan. Di Universitas Sumatera Utara (USU), jaringan pungutan liar bermodus “jalur aspirasi” menjelma menjadi sistem bayangan yang rapi dan sistematis, menjaring mahasiswa baru dengan dalih solidaritas dan janji beasiswa.
Pungli Dibungkus Solidaritas: Modus Jalur Aspirasi
Investigasi Tim Indepth iKoneksi.com mengungkap praktik haram ini berjalan seperti sistem terstruktur. Tidak hanya melibatkan oknum mahasiswa senior, tetapi juga diduga disokong oleh pegawai kampus yang aktif maupun yang telah diberi sanksi. Mereka memainkan peran sebagai penolong, penghubung, sekaligus pengendali dana KIP-K.
Para pelaku ini memanfaatkan status mereka di organisasi mahasiswa untuk meraih kepercayaan korban. Tak jarang, korban dibantu sejak proses pendaftaran hingga seleksi KIP-K, hanya untuk kemudian dijerat perjanjian tak resmi. Surat bermaterai, janji lolos seleksi, dan kewajiban menyetor dana menjadi bagian dari skenario.
Dari FISIP hingga FMIPA: Jaringan Lintas Fakultas
Skema ini tidak terjadi di satu titik. FISIP USU menjadi salah satu awal terungkapnya praktik ini, saat seorang korban, Jati (nama samaran), mengaku dipaksa menyerahkan uang tunai kepada R, senior sekaligus ketua organisasi di prodi-nya. Pada hari pencairan dana, R bahkan menunggu Jati di kampus sejak pagi, mengikutinya ke ATM, dan memaksa penyerahan uang secara langsung.
Lebih dari itu, korban diminta menghapus bukti percakapan dan dilarang keras membicarakan hal ini ke siapa pun. Saat tekanan terus datang, korban dibawa bertemu seorang staf Badan Pengawas Usaha USU yang memperingatkannya untuk tetap bungkam.
Modus serupa ditemukan di Fakultas Kehutanan, FMIPA, Fasilkom-TI, dan lainnya. Di FHut USU, korban dikumpulkan di kafe, lalu dipanggil satu per satu oleh senior untuk menandatangani surat perjanjian pemotongan dana. Ada yang diminta transfer, ada yang diminta setor tunai. Beberapa korban seperti Bulan, Mentari, Anggun, bahkan dijemput langsung ke kos untuk diberi penawaran beasiswa aspirasi.
Legalitas Semu dan Surat Bermaterai
Narasi yang digunakan selalu terdengar meyakinkan: jalur aspirasi legal, potongan dana untuk daerah 3T dan surat bermaterai sebagai bukti kesepakatan. Sayangnya, semua ini tidak pernah tercatat dalam sistem resmi Ditmawalumni USU. Korban baru sadar mereka tertipu setelah dana mereka raib, dan tidak ada jalur hukum yang mudah untuk menuntut hak mereka kembali.
Rembulan, korban dari FMIPA, bahkan mencoba menawar nominal pungutan karena ibunya sakit. Namun tidak digubris. Ia tetap harus mengirimkan uang lebih dari Rp3 juta. Di Fasilkom-TI, Matahari mengaku menyerahkan dana karena mengira itu prosedur resmi. Tidak ada kejelasan, hanya instruksi dari senior yang dianggap bisa dipercaya.
Ancaman DO dan Tekanan Psikologis
Ketakutan menyelimuti banyak korban. Beberapa mahasiswa yang awalnya bersedia memberikan keterangan kemudian menarik diri. Mereka khawatir akan di-drop out dari kampus. Ancaman ini bukan hanya spekulasi, tapi datang dari pihak-pihak yang memiliki otoritas di fakultas.
Jati bahkan dipanggil oleh fakultas dan diinterogasi oleh tiga staf. Ia diminta menunjukkan bukti percakapan dengan pelaku. Dosen menjanjikan keringanan asal ia bekerja sama. Bukannya perlindungan, korban justru merasa seperti terdakwa.
Ditmawalumni Bergerak, Tapi Terlambat
Pada 25 Maret 2025, Ditmawalumni menerbitkan surat tentang koordinasi pengembalian dana KIP-K. Namun surat itu baru diterima korban dua hari kemudian. Bahkan ada korban yang tahu surat tersebut dari teman, bukan dari kampus.
Ketika datang untuk mengklaim dana, Jati dan korban lain hanya menerima Rp3,4 juta dari total Rp5,6 juta yang mereka setorkan. Meski sebagian dana dikembalikan, tekanan psikologis dan trauma belum pulih. Krisan, Aster, dan Melati, korban lain dari FISIP, mengaku sempat bungkam karena takut akan tindakan disipliner dari fakultas.
Gamadiksi dan BEM USU Menyerukan Perlawanan
Ketua Umum Gamadiksi, Ferdy Ariansyah, menyatakan laporan masuk sejak Desember 2024. Mereka langsung mensosialisasikan jalur aspirasi resmi tidak pernah meminta dana. Semua surat bermaterai yang ditandatangani korban adalah dokumen ilegal yang tidak diakui Ditmawalumni.
“Gamadiksi lalu membuka posko aduan dan melapor ke Badan Pengawas Internal,” tegasnya.
Ketua BEM USU, Muzammil Ihsan, menegaskan komitmennya.
“Kami kawal kasus ini sampai selesai. Dana harus dikembalikan, pelaku harus ditindak. Kalau perlu, kami minta datanya satu per satu,” serunya.
Masih Ada yang Belum Kembali, Masih Ada yang Takut Bicara
Meski sebagian dana telah dikembalikan, proses pemulihan belum selesai. Banyak korban masih ketakutan. Banyak pelaku masih bebas. Sistem yang memungkinkan praktik ini tetap berdiri kokoh. Kisah ini membuka mata kita bahwa kejahatan tidak selalu berwajah garang. Kadang ia menyamar dalam bentuk bantuan, berbalut solidaritas, dan datang dari orang yang seharusnya melindungi. Jika sistem kampus tidak dibenahi, bukan tidak mungkin gelombang korban berikutnya tinggal menunggu waktu. (04/iKoneksi.com)