Jakarta, iKoneksi.com – Setelah wafatnya Paus Fransiskus pada usia 88 tahun, dunia kini menantikan jawaban atas satu pertanyaan besar: siapa yang akan menggantikan tahta St. Petrus sebagai pemimpin tertinggi Gereja Katolik? Fokus utama tertuju ke Kota Vatikan, tempat para kardinal dari berbagai belahan dunia berkumpul dalam konklaf proses rahasia yang akan menentukan arah baru Gereja Katolik di tengah dinamika zaman.
Pemilihan paus baru bukan sekadar ritual, tetapi momen penuh pertimbangan teologis, geopolitik, dan harapan umat. Wafatnya Paus Fransiskus meninggalkan warisan besar, termasuk keterbukaan terhadap keberagaman dan sikap progresif terhadap isu-isu sosial. Ia adalah paus pertama dari Amerika Latin dan non-Eropa pertama dalam hampir 1.300 tahun—langkah berani yang sempat mengubah wajah Gereja Katolik secara global.
Kini, saat dunia memasuki masa sede vacante, muncul satu pertanyaan menarik: akankah Gereja memilih paus dari Afrika atau Asia untuk pertama kalinya?
Kandidat Terkuat: Harapan dan Tantangan
Dalam konklaf kali ini, terdapat delapan nama yang mencuat ke permukaan. Mereka mewakili latar belakang, pemikiran, dan karakter yang sangat beragam. Masing-masing membawa kemungkinan besar untuk membentuk arah baru Gereja Katolik.
1. Peter Turkson – Harapan Afrika
Peter Turkson (76 tahun) berasal dari Ghana. Ia pernah menjadi Uskup Cape Coast dan dikenal sebagai simbol harapan bagi umat Katolik Afrika. Pernah ditugaskan Paus Fransiskus sebagai utusan perdamaian ke Sudan Selatan, Turkson juga menunjukkan pendekatan moderat terhadap isu homoseksualitas—kritik terhadap hukum keras di Afrika, namun tetap menjaga sensitivitas budaya setempat. Ia sempat difavoritkan dalam konklaf 2013.
2. Luis Antonio Tagle – Wajah Asia yang Cerah
Luis Antonio Tagle (67 tahun), mantan Uskup Agung Manila, menjadi kandidat unggulan dari Asia. Jika terpilih, ia akan menjadi paus Asia pertama dalam sejarah Gereja. Dikenal liberal dalam isu-isu sosial, Tagle menolak aborsi tetapi mendorong Gereja agar lebih terbuka kepada pasangan sesama jenis dan mereka yang bercerai. Ia sangat dekat dengan Paus Fransiskus dan dianggap sebagai penerus sejiwa.
3. Pietro Parolin – Penerus Jalur Diplomatik
Sekretaris Negara Vatikan, Pietro Parolin (70 tahun), dianggap sebagai kandidat yang akan melanjutkan kebijakan Fransiskus. Ia dikenal moderat namun konservatif dalam beberapa isu sosial. Pernyataannya yang kontroversial soal pernikahan sesama jenis di Irlandia pernah menuai kritik, begitu juga perjanjian diplomatik Vatikan-Tiongkok yang dianggap bermasalah.
4. Peter Erdo – Suara dari Eropa Timur
Uskup Agung Esztergom-Budapest, Peter Erdo (72 tahun), berasal dari wilayah bekas Blok Soviet dan dikenal sangat konservatif. Ia menentang pemberian komuni kepada umat Katolik yang menikah kembali dan teguh membela nilai-nilai tradisional Gereja. Jika Gereja ingin kembali ke akar konservatif, Erdo bisa menjadi pilihan.
5. Jose Tolentino de Mendonça – Suara Modern dari Portugal
Dikenal sebagai tokoh yang terbuka terhadap budaya modern, Tolentino (59 tahun) adalah kandidat termuda. Ia mendorong Gereja memahami dunia modern lewat seni, film, dan musik. Meski belum sepopuler kandidat lain, ia membawa harapan bagi kaum muda Katolik.
6. Matteo Zuppi – Diplomat Perdamaian
Matteo Zuppi (69 tahun), Uskup Agung Bologna, ditunjuk Paus Fransiskus sebagai utusan perdamaian untuk konflik Ukraina. Meski hasil diplomatik belum terlihat, ia menunjukkan kemampuan dialog antar agama. Pandangannya yang sejalan dengan Fransiskus menjadikannya figur kuat.
7. Mario Grech – Suara Sinode
Grech (68 tahun) dari Malta saat ini menjabat Sekretaris Jenderal Sinode Para Uskup. Ia mendorong pendekatan baru dalam menyikapi pasangan sesama jenis dan perceraian. Meski terkesan moderat, ia tetap dijaga oleh kerangka tradisionalisme.
8. Robert Sarah – Figur Kuat dan Konservatif
Robert Sarah (79 tahun), asal Guinea, adalah kandidat kulit hitam kedua selain Turkson. Ia dikenal konservatif dan telah lama menjabat di Vatikan sejak era Paus Yohanes Paulus II. Meski usianya bisa menjadi penghalang, pengalaman dan karismanya tak bisa diabaikan.
Menanti Putusan Sejarah
Dari delapan nama ini, dunia bertanya-tanya: apakah Gereja Katolik akan kembali ke akar konservatif, atau terus melaju di jalur reformasi? Akankah seorang paus kulit hitam atau Asia menjadi simbol nyata dari wajah global Gereja Katolik? Semua mata kini tertuju ke Kapel Sistina, di mana para kardinal akan mengurung diri dalam konklaf.
Dalam hitungan hari atau mungkin minggu, asap putih akan muncul dari cerobong, menandakan bahwa dunia kembali memiliki Paus. Siapa pun yang terpilih nanti, ia akan menghadapi tantangan besar: menjaga relevansi Gereja Katolik di tengah era yang berubah cepat, dan tetap setia pada nilai-nilai spiritual yang menjadi fondasinya. Gereja sedang berada di persimpangan sejarah. (04/iKoneksi.com)