Jakarta, iKoneksi.com – Pakar Hukum Tata Negara Zainal Arifin Mochtar, yang akrab disapa Uceng, hadir sebagai ahli yang diajukan Presiden dalam sidang uji materi sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK). Sidang yang berlangsung di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Senin (16/12/2024), membahas pasal-pasal yang dinilai rawan mengganggu independensi Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Dalam keterangannya, Uceng menyoroti frasa “
persetujuan dalam Pasal 7 angka 57, Pasal 7 angka 6, dan Pasal 276 angka 13 UU P2SK. Menurutnya, kata ini perlu ditafsirkan sebagai bentuk kontrol negara, bukan pergeseran kewenangan dari LPS kepada pemerintah.
“Kontrol oleh negara adalah kewajiban untuk memastikan anggaran atau pungutan dari masyarakat tidak digunakan secara serampangan. Namun, kontrol ini tidak boleh mengganggu independensi LPS,” jelas Uceng.
Ia menambahkan frasa persetujuan lebih baik dipahami sebagai persetujuan bersama, seperti yang telah diterapkan dalam Memorandum of Understanding (MoU) antara Kementerian Keuangan dan LPS pada 10 Oktober 2024.
Keseimbangan antara Kontrol dan Independensi
Uceng menegaskan penting bagi pemerintah dan LPS untuk memperjelas batasan antara fungsi operasional murni, kebijakan operasional yang mendukung tugas LPS, dan pelaksanaan kebijakan strategis. Ia merekomendasikan agar MoU yang ada direvisi untuk memastikan persetujuan bersama hanya berlaku pada rencana kerja dan anggaran tahunan yang bersifat operasional murni.
“Persetujuan pada hal-hal operasional yang terkait pelaksanaan kewenangan murni LPS dapat merusak independensi lembaga ini. Hal ini juga berpotensi memunculkan persepsi adanya intervensi eksekutif terhadap lembaga negara yang seharusnya independen,” tegas Uceng.
Ia juga menyarankan agar kontrol yang dilakukan pemerintah bersifat makro dan strategis, bukan teknis operasional.
“Langkah ini diyakini dapat menjaga keseimbangan antara independensi LPS dan akuntabilitas terhadap negara,” jelasnya.
Keraguan Konstitusionalitas dan Administrasi Pelaksanaan
Uceng menyimpulkan isu utama dalam perkara ini bukanlah pada konstitusionalitas norma secara murni, tetapi lebih pada tata cara administrasi pelaksanaan. Hal ini, menurutnya, dapat diselesaikan melalui revisi dan penegasan batas-batas kewenangan dalam MoU.
“Persoalan ini sesungguhnya dapat diatasi dengan memperbaiki pengaturan administratif, bukan membatalkan norma sepenuhnya,” beber Uceng.
Pemohon: Independensi LPS Terancam
Sebagai informasi, perkara ini diajukan oleh dua dosen Hukum Tata Negara, Giri Ahmad Taufik dan Wicaksana Dramanda, serta seorang mahasiswa, Mario Angkawidjaja.
Giri menganggap pasal-pasal terkait persetujuan Menteri Keuangan atas Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan (RKAT) LPS berpotensi menciptakan tumpang tindih kewenangan dengan Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
“Kami juga mengkhawatirkan dampak intervensi eksekutif terhadap independensi LPS, yang dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap lembaga ini sebagai penjamin simpanan nasabah,” tegasnya.
Giri meminta MK untuk membatalkan sejumlah frasa dalam UU P2SK yang dianggap melanggar Undang-Undang Dasar 1945.
Tantangan MK Menjaga Keseimbangan
Sidang ini menjadi perhatian luas karena menyangkut isu strategis dalam sistem keuangan nasional.
“MK diharapkan mampu memberikan putusan yang tidak hanya menjaga independensi LPS, tetapi juga memastikan adanya kontrol yang proporsional untuk melindungi kepentingan publik dan stabilitas sektor keuangan,” tutup Giri. (04/iKoneksi.com)
Komentar