Kota Surabaya, iKoneksi.com – Pemerintah Indonesia resmi mengumumkan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen yang mulai berlaku pada 1 Januari 2025. Keputusan ini membawa dampak signifikan bagi masyarakat, terutama pada sistem pembayaran yang menggunakan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS). Sebagai salah satu metode pembayaran yang semakin populer di Indonesia, QRIS kini turut dikenakan PPN 12%, sebuah kebijakan yang memicu perdebatan dan pro-kontra di kalangan pakar ekonomi dan masyarakat umum.
Kebijakan PPN Baru dan QRIS
Sebelumnya, PPN hanya dikenakan pada beberapa jenis transaksi tertentu. Namun, dengan adanya kebijakan baru ini, sejumlah sektor, termasuk transaksi melalui QRIS, akan menghadapi tarif PPN yang lebih tinggi. QRIS, yang mempermudah pembayaran digital dengan menggunakan kode QR, kini dianggap akan terdampak langsung oleh perubahan tarif pajak tersebut. Menurut pemerintah, kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara guna mendukung pembangunan ekonomi yang lebih inklusif.
Namun, keputusan ini memicu kekhawatiran dari berbagai pihak, salah satunya dari kalangan akademisi. Salah satu pakar ekonomi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga (FEB Unair), Prof. Dr. Rahmat Setiawan SE MM, menyatakan kenaikan PPN pada transaksi QRIS dapat menyebabkan masyarakat kembali memilih pembayaran tunai sebagai alternatif yang lebih murah.
“Kalau transaksi dengan QRIS kena PPN 12%, masyarakat akan memilih kembali ke pembayaran tunai. Kalau dengan tunai, mereka tidak perlu khawatir dengan adanya tambahan pajak,” tutur Rahmat dalam keterangannya yang dikutip pada Jumat (27/12/2024).
Perilaku Rasional Masyarakat dalam Bertransaksi
Rahmat menjelaskan masyarakat cenderung membuat keputusan rasional dalam bertransaksi. Jika biaya tambahan berupa PPN 12% pada QRIS dianggap memberatkan, maka masyarakat akan beralih ke metode pembayaran yang tidak dikenakan pajak tambahan.
“Perilaku orang itu sebenarnya rasional dan akan selalu menyesuaikan. Jika dengan tunai lebih menguntungkan, mereka tentu akan memilih itu,” ucap Rahmat.
Kebijakan yang Berseberangan dengan Kampanye Non-Tunai
Lebih lanjut, Rahmat menyayangkan kebijakan kenaikan PPN pada transaksi QRIS yang dianggap bertentangan dengan tujuan pemerintah yang ingin mendorong penggunaan transaksi non-tunai. Pemerintah melalui Bank Indonesia sudah gencar mengampanyekan penggunaan sistem pembayaran non-tunai dengan berbagai kemudahan, seperti QRIS, untuk mengurangi transaksi tunai yang rentan terhadap praktik pencucian uang dan untuk meningkatkan transparansi dalam sistem perekonomian.
“Transaksi non-tunai memiliki banyak manfaat, salah satunya kemudahan dalam pencatatan transaksi yang sangat penting untuk menghindari tindak pencucian uang. Jika QRIS dikenakan PPN 12%, ini akan menghambat tujuan tersebut,” jelas Rahmat.
Dampak Kenaikan PPN pada Kehidupan Sehari-hari
Kenaikan tarif PPN juga berpotensi memengaruhi daya beli masyarakat. Rahmat menekankan bahwa barang-barang yang biasanya tidak tergolong barang mewah, seperti sabun, pasta gigi, dan deodoran, juga akan dikenakan PPN 12%. Ini berarti bahwa kebutuhan sehari-hari masyarakat akan menjadi lebih mahal.
“Yang tadinya barang-barang ini tidak dikenakan pajak tinggi, kini akan terdampak oleh kenaikan PPN. Ini akan menambah beban hidup masyarakat,” lugas Rahmat.
Kenaikan PPN yang berlaku juga berisiko memperlambat laju konsumsi, yang pada gilirannya bisa berdampak pada penurunan produksi barang.
“Jika daya beli masyarakat menurun, maka produksi barang-barang akan berkurang karena tidak ada yang membeli. Ini akan mengarah pada peningkatan jumlah pengangguran,” seru Rahmat.
Harapan Agar Kebijakan Ditinjau Kembali
Menanggapi hal ini, Rahmat berharap agar pemerintah menunda atau membatalkan rencana kenaikan PPN tersebut. Ia mengingatkan bahwa pemerintah memiliki ruang untuk menyesuaikan tarif PPN tanpa harus mengubah undang-undang yang ada.
“Pemerintah sebenarnya memiliki kewenangan untuk menurunkan atau menaikkan PPN sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam UU HPP Pasal 7 ayat (3). Jadi, seharusnya masih ada ruang untuk tetap mempertahankan tarif PPN di angka 11% tanpa harus mengubah UU,” katanya.
Sebagai langkah alternatif, Rahmat juga menyarankan agar pemerintah fokus pada sektor-sektor lain yang bisa menghasilkan pendapatan tanpa membebani masyarakat secara langsung.
“Pemerintah bisa mencari sumber pendapatan lain yang tidak menyusahkan masyarakat, terutama di tengah kondisi ekonomi yang masih belum stabil,” terang Rahmat.
Kebijakan kenaikan PPN ini tentunya akan menjadi salah satu isu hangat yang terus diperbincangkan hingga awal tahun 2025.
“Masyarakat kini menantikan bagaimana pemerintah akan merespons berbagai kritik dan saran yang muncul terkait kebijakan ini, serta apa dampaknya bagi ekonomi domestik ke depannya,” tandas Rahmat. (04/iKoneksi.com)
Komentar