Sidang Pengujian UU Pemilu: Hak Kampanye Presiden dan Potensi Ketidakadilan

Jakarta, iKoneksi.com – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang penting terkait pengujian materiil Pasal 281 ayat (1) dan Pasal 299 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), Senin (16/12/2024).

Perkara dengan Nomor 172/PUU-XXII/2024 ini diajukan oleh Lintang Mendung Kembang Jagad, yang menggugat ketentuan mengenai hak kampanye Presiden dan Wakil Presiden sebagai petahana.

“Pasal 281 ayat (1) UU Pemilu mengatur bahwa pejabat negara, termasuk Presiden dan Wakil Presiden, dapat mengikuti kampanye dengan syarat tertentu seperti cuti di luar tanggungan negara dan tidak menggunakan fasilitas jabatan, kecuali untuk pengamanan. Sementara itu, Pasal 299 ayat (1) menyebutkan bahwa Presiden dan Wakil Presiden memiliki hak untuk berkampanye,” kata Lintang.

Lintang menganggap dua pasal tersebut saling bertentangan dan merugikan hak konstitusionalnya. Ia mengacu pada Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menjamin pengakuan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan setara di hadapan hukum. Dalam sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, Lintang menjelaskan dukungan Presiden dan Wakil Presiden kepada salah satu calon tertentu dapat memengaruhi elektabilitas secara signifikan dan menciptakan ketidakadilan dalam kontestasi pemilihan umum.

“Dengan elektabilitas yang melekat pada Presiden dan Wakil Presiden, dukungan terhadap salah satu calon dapat memengaruhi hasil suara secara drastis,” ujar Lintang.

Inkonsistensi Status Petahana

Lintang berpendapat hak kampanye yang diberikan kepada Presiden dan Wakil Presiden sebagai petahana seharusnya hanya berlaku jika mereka berkampanye untuk dirinya sendiri atau dalam pencalonan periode kedua. Menurut Lintang, secara faktual sulit memisahkan peran Presiden dan Wakil Presiden sebagai individu dari jabatan mereka sebagai kepala negara. Hal ini menimbulkan keuntungan elektoral yang tidak setara bagi kandidat lain.

“Oleh karena itu, Pasal 281 ayat (1) dan Pasal 299 ayat (1) seharusnya dinyatakan inkonstitusional jika tidak dimaknai untuk membatasi kampanye petahana hanya untuk kepentingan dirinya sendiri,” tegas Lintang.

Nasihat Hakim Konstitusi

Dalam sidang tersebut, Hakim Konstitusi Arsul Sani memberikan sejumlah masukan kepada Pemohon. Ia meminta Lintang untuk merujuk pada Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, khususnya terkait struktur permohonan. Arsul juga meminta Pemohon memperjelas dan memperdalam argumen terkait kerugian konstitusional yang dialami.

“Perlu dilihat bagaimana rumusan kerugian konstitusional yang dimaksud, terutama karena pasal-pasal ini sudah beberapa kali diajukan untuk diuji sebelumnya,” ucap Arsul.

“Majelis Hakim memberikan waktu hingga Senin, 30 Desember 2024, kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonannya. Dokumen perbaikan, baik dalam bentuk hardcopy maupun softcopy, harus diterima MK sebelum tenggat waktu tersebut,” sambung Arsul.

Tantangan MK dalam Menjaga Keadilan Pemilu

Sidang ini menjadi perhatian publik karena menyentuh aspek fundamental dalam sistem pemilu, yakni keadilan dan netralitas pejabat negara.

“Dengan adanya gugatan ini, MK diharapkan mampu menjaga muruahnya sebagai penjaga konstitusi dan penegak prinsip demokrasi, terutama dalam mengatur posisi petahana dalam kontestasi politik nasional,” tukas Lintang. (04/iKoneksi.com)

Komentar