Jakarta, iKoneksi.com – Tiga bulan setelah dilantik oleh Presiden Prabowo Subianto pada 21 Oktober 2024, Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendiktisaintek) Satryo Soemantri Brodjonegoro mengambil langkah strategis dengan mengevaluasi sejumlah Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek). Melalui surat edaran resmi, Satryo menyoroti beberapa regulasi yang dinilai memerlukan penyesuaian demi mewujudkan sistem pendidikan tinggi yang lebih otonom, inklusif, dan relevan dengan kebutuhan masyarakat.
Penundaan Implementasi Aturan Profesi dan Karier Dosen
Salah satu regulasi yang menjadi perhatian utama adalah Permendikbudristek Nomor 44 Tahun 2024 tentang Profesi, Karier, dan Penghasilan Dosen. Dalam Surat Edaran (SE) Mendiktisaintek Nomor 14 Tahun 2024 yang dikeluarkan pada 17 Desember 2024, Satryo memutuskan untuk menunda implementasi peraturan tersebut. Penundaan ini dilakukan guna memberikan ruang untuk evaluasi lebih mendalam terkait berbagai ketentuan yang diatur, termasuk soal tunjangan dosen.
Pada Permendikbudristek tersebut, besaran tunjangan profesi dosen ASN setara dengan satu kali gaji pokok. Adapun tunjangan kehormatan bagi profesor bahkan mencapai dua kali gaji pokok dosen ASN. Namun, evaluasi diperlukan untuk memastikan aturan tersebut dapat diterapkan secara adil, terutama bagi dosen non-ASN yang selama ini bergantung pada referensi gaji PNS sebagai acuan.
“Penetapan dan penyesuaian peraturan internal mengenai profesi, karier, dan penghasilan dosen di perguruan tinggi akan dilaksanakan setelah evaluasi oleh Kemendiktisaintek selesai,” tulis Satryo dalam surat edarannya.
Satryo juga menyoroti kendala yang dialami dosen ASN yang belum lulus sertifikasi akibat terbatasnya kuota tahunan.
“Untuk mengatasi masalah ini, kementerian mengajukan tambahan anggaran Rp 2,6 triliun guna membayar selisih tunjangan kinerja (tukin) bagi dosen yang belum menerima tunjangan profesi,” kata Satryo.
Revitalisasi Otonomi Perguruan Tinggi
Tak hanya soal profesi dosen, Satryo juga tengah merevisi Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 yang mengatur penjaminan mutu pendidikan tinggi. Dalam SE Nomor 15 Tahun 2024, ia menyatakan bahwa revitalisasi otonomi perguruan tinggi menjadi salah satu prioritas. Menurutnya, banyak perguruan tinggi di Indonesia yang belum memiliki kebebasan penuh dalam menentukan kurikulum dan program pendidikan. Kondisi ini dianggap menghambat potensi perguruan tinggi dalam menghasilkan riset dan inovasi yang relevan dengan kebutuhan masyarakat setempat.
“Perguruan tinggi harus diberi keleluasaan untuk mengubah kurikulum sesuai dengan kebutuhan masyarakat, selama kualitasnya tetap terjaga. Mereka tidak boleh dibatasi oleh aturan yang terlalu ketat,” ujar Satryo.
Selain itu, Satryo juga menekankan akreditasi tidak lagi diwajibkan bagi perguruan tinggi. Ia menilai praktik perguruan tinggi yang menggunakan peringkat akreditasi sebagai alat promosi kepada calon mahasiswa sering kali tidak adil bagi kampus yang belum mencapai peringkat unggul.
“Akreditasi itu sifatnya tidak wajib. Perguruan tinggi harus fokus pada kualitas, bukan sekadar peringkat,” tegasnya.
Dampak dan Harapan
Langkah evaluasi yang diambil Satryo mendapat perhatian luas dari berbagai pihak. Beberapa pihak menyambut baik upaya revitalisasi ini, namun sebagian lainnya masih menunggu hasil akhir dari evaluasi tersebut. Dalam perjalanannya, Satryo berharap kebijakan yang dihasilkan mampu menciptakan lingkungan pendidikan tinggi yang lebih adaptif, berdaya saing, dan berpihak pada kepentingan seluruh pemangku kepentingan, termasuk dosen dan mahasiswa.
Dengan target penyelesaian evaluasi sebelum 18 Agustus 2025, publik kini menanti langkah-langkah konkret dari Kemendiktisaintek untuk merealisasikan visi baru pendidikan tinggi di Indonesia. Akankah reformasi ini membawa perubahan positif atau justru menimbulkan polemik baru? Waktu yang akan menjawab. (04/iKoneksi.com)
Komentar