banner 728x250

Kisah Deportasi Abrego Garcia dan Manuver Pemerintah Trump

  • Bagikan
banner 468x60

Washington DC, iKoneksi.com – Sebuah kasus hukum yang tampaknya sepele kini menjadi sorotan publik Amerika Serikat dan El Salvador. Ini bukan sekadar soal deportasi, melainkan konflik antara cabang eksekutif dan yudikatif AS, serta pertanyaan besar soal peran pemerintah dalam urusan pengembalian migran. Di pusat kontroversi ini adalah Abrego Garcia, seorang migran asal El Salvador yang selama lebih dari satu dekade membangun hidup di AS, namun secara mengejutkan dideportasi meski telah mendapat perlindungan hukum.

Deportasi Kontroversial dan Sindiran dari Presiden Bukele

Abrego Garcia sebelumnya tinggal secara legal di AS sejak tahun 2011 dan memiliki izin kerja yang sah. Seorang hakim imigrasi bahkan sempat memutuskan Garcia tidak boleh dideportasi ke El Salvador karena risiko tinggi terhadap kekerasan geng di sana. Namun, kenyataan berkata lain. Beberapa waktu lalu, Garcia ditemukan dideportasi secara diam-diam di bawah otoritas Alien Enemies Act tahun 1798 sebuah undang-undang kuno yang kini diblokir oleh pengadilan.

Presiden El Salvador, Nayib Bukele, tak melewatkan momen tersebut. Dalam unggahan media sosial yang viral, Bukele menuliskan Oopsie… Too late seraya menyertakan rekaman para pria yang diduga termasuk Garcia, digiring turun dari pesawat pada malam hari. Pesan itu menyiratkan AS tak bisa lagi membalikkan keputusan yang telah terjadi di lapangan.

Putusan Mahkamah Agung dan Instruksi yang Tak Jelas

Mahkamah Agung AS pekan lalu memutuskan untuk menegakkan putusan pengadilan yang lebih rendah, yang memerintahkan pemerintah AS untuk memfasilitasi dan melaksanakan pengembalian Garcia. Namun istilah melaksanakan atau effectuate dalam keputusan itu menimbulkan perdebatan, terutama soal batasan kewenangan hakim distrik dalam memaksa pemerintah mengambil tindakan terhadap negara asing.

Hakim Paula Xinis dijadwalkan menggelar sidang lanjutan pada Selasa mendatang. Para ahli hukum meyakini Xinis akan mempertanyakan apakah pemerintahan Trump secara sengaja atau tersirat memberi sinyal kepada pemerintah Bukele untuk menolak membebaskan Garcia. Jika demikian, tindakan tersebut bisa dianggap bertentangan langsung dengan perintah pengadilan.

Tuduhan Pembangkangan terhadap Mahkamah

Beberapa pakar hukum bahkan menuduh pemerintahan Trump secara terang-terangan melawan perintah pengadilan. Profesor Ilya Somin dari George Mason University menyatakan bahwa alasan pemerintah untuk tidak memulangkan Garcia tidak masuk akal.

“Semua itu omong kosong dalam kasus seperti ini, di mana satu-satunya alasan orang itu ditahan oleh negara asing adalah karena AS sendiri yang memintanya dan menjalin kesepakatan agar itu terjadi,” tegas Somin.

Ia menambahkan, sangat jelas mereka bisa membebaskannya jika mereka memang menginginkannya.

Di sisi lain, Trump menyampaikan kepada wartawan pemerintahannya akan membawa Garcia kembali ke AS, jika Mahkamah Agung memerintahkan untuk melakukannya. Namun, pernyataan itu dinilai menggantung, mengingat Mahkamah Agung sebenarnya telah memberikan sinyal agar pengembalian segera difasilitasi.

Sidang Menentukan dan Tarik Ulur Politik

Sidang hari Selasa mendatang akan menjadi momen krusial untuk menentukan apakah hakim Xinis akan memperkuat atau bahkan memperluas perintah pengadilan terhadap pemerintahan Trump. Di tengah situasi ini, muncul pula pertanyaan lebih besar: sejauh mana eksekutif bisa berdalih atas nama urusan luar negeri ketika yang dipertaruhkan adalah keadilan bagi seorang individu?

Kasus Garcia kini tak lagi soal satu orang, melainkan menjadi simbol ketegangan antara hukum dan kekuasaan politik, antara independensi pengadilan dan agenda pemerintahan. Ketika kebijakan imigrasi dipertaruhkan di tengah suasana politik panas menjelang pemilu, nasib satu orang bisa mencerminkan kegagalan sistem yang lebih besar. (04/iKoneksi.com)

 

banner 325x300banner 325x300
banner 120x600
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *