Kota Tebing Tinggi, iKoneksi.com – Ketidakpercayaan publik terhadap institusi kepolisian di Indonesia semakin mengemuka. Berbagai kasus yang mencerminkan ketidakadilan hukum menambah kegelisahan masyarakat. Mulai dari laporan yang diabaikan, korban yang dijadikan tersangka, hingga keterlibatan oknum polisi dalam kejahatan besar. Semua ini memperkuat anggapan bahwa hukum di Indonesia lebih tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Fenomena ini menjadi perhatian serius Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Rizka Rahmayani, salah satu kader GMNI Tebing Tinggi, menyoroti persoalan ini sebagai masalah yang kompleks dan mendalam. Menurutnya, masyarakat semakin kehilangan kepercayaan terhadap polisi yang seharusnya menjadi pelindung rakyat.
Ketidakadilan Hukum yang Memprihatinkan
Rizka menyebutkan beberapa kasus yang memperkuat dugaan bahwa hukum lebih berpihak pada kalangan atas dibandingkan rakyat kecil. Contohnya adalah kasus Nenek Asyani di Jawa Timur pada 2015. Perempuan tua yang hanya mengambil tujuh batang kayu jati dihukum satu tahun penjara dengan masa percobaan dan denda Rp 500 juta. Sementara itu, kasus korupsi besar seperti yang melibatkan Harvey Moeis pada 2024 hanya berujung vonis 6,5 tahun penjara meski negara dirugikan Rp 300 triliun.
“Alasan yang meringankan vonis Harvey adalah karena dia sopan dan memiliki tanggungan keluarga. Tapi bagaimana dengan Nenek Asyani yang miskin dan hanya mencari kayu untuk makan? Ini jelas menunjukkan ketimpangan hukum yang nyata,” ujar Rizka.
Rizka juga menyoroti kasus ZA, pelajar SMA di Malang yang membela diri dari begal pada 2019. ZA malah didakwa dengan pasal pembunuhan berencana, meski tindakannya murni membela diri.
“Masyarakat sampai menyindir bahwa di Indonesia lebih baik jadi begal daripada membela diri. Negeri ini seperti parodi hukum,” jelas Rizka.
Oknum Polisi dalam Jaringan Kejahatan
Tidak hanya ketimpangan hukum, keterlibatan oknum polisi dalam kejahatan besar juga menjadi sorotan. Kasus mantan Kadiv Propam Polri, Ferdy Sambo, yang terlibat pembunuhan berencana, serta kasus polisi yang melindungi jaringan narkoba dan perjudian, mencoreng citra kepolisian.
“Baru-baru ini, di awal tahun 2025, kasus penembakan bos rental mobil oleh seorang penyewa yang diduga aparat TNI kembali memicu kekecewaan publik. Sebelumnya, keluarga korban sudah meminta perlindungan dari Polsek Cinangka, namun permintaan itu diabaikan. Keputusan polisi untuk tidak memberikan pendampingan membuat keluarga korban kecewa berat,” tegas Rizka.
Dampak Krisis Kepercayaan
Rizka menegaskan, ketidakpercayaan terhadap polisi membawa dampak besar. Masyarakat menjadi enggan melapor karena merasa tidak dilindungi atau diabaikan. Tidak jarang, hal ini memicu tindakan main hakim sendiri yang berisiko menciptakan anarki di masyarakat.
“Jika polisi terus dianggap gagal menjadi pelindung masyarakat, kita akan menghadapi krisis hukum yang serius. Keadaan ini bisa menimbulkan kekacauan sosial yang lebih besar,” tekan Rizka.
Peringatan untuk Institusi Kepolisian
Rizka menyerukan agar institusi kepolisian segera berbenah. Ia menilai bahwa citra kepolisian harus diperbaiki dengan meningkatkan profesionalisme dan transparansi dalam menangani kasus-kasus hukum.
“Kita butuh polisi yang benar-benar menjadi pelindung rakyat, bukan perisai bagi mereka yang berkuasa dan kaya. Jika hal ini terus dibiarkan, dampaknya akan semakin buruk, baik bagi masyarakat maupun institusi kepolisian sendiri,” lugas Rizka.
“Ketidakadilan hukum ini menjadi peringatan serius bahwa perubahan mendasar dalam sistem penegakan hukum di Indonesia adalah sebuah keharusan. Masyarakat berharap, hukum benar-benar ditegakkan secara adil tanpa memandang status sosial atau kekayaan. (04/iKoneksi.com)
Komentar